Memancing Emosi

33 1 0
                                    

Setelah menutup pertemuan hari ini dengan membahas berbagai jenis rasa mie kuah. Akhirnya Saka pamit undur diri dari rumah Rachel dengan seulas senyuman yang menghiasi bibir. Meski sempat sedikit adu pendapat dan terpancing emosi, keduanya kembali dingin dan membahas hal lain.

Saka mengendarai mobilnya berlawanan arah dengan lokasi kafe. Tujuan lain setelah dari rumah Rachel adalah bertemu Amanda. Wanita itu benar-benar meresahkan. Serpertinya Amanda masih belum puas mengacau di kehidupannya.

Beberapa menit mengendarai mobil, Saka sampai di sebuah restoran yang dulu sempat menjadi tempat dirinya dan Amanda sering bertemu. Kakinya melangkah lebar menuju tempat biasa. Ia sudah tidak sabar bertemu Amanda dan memberi wanita itu sedikit pelajaran supaya lebih berhati-hati.

"Jauhkan tangan kamu dari aku." Saka sedikit mundur saat Amanda merentangkan tangannya. "Duduk lagi aja. Gak usah peluk-peluk. Kita bukan telletubies kok," cibir Saka langsung mendaratkan diri di kursi.

Amanda mengibaskan rambutnya ke belakang. "Aku kangen sama kamu," akunya tanpa merasa malu.

"Sorry. Aku gak kangen sama kamu. Dan tujuan aku ketemu sama kamu bukan untuk kangen-kangenan."

"Kamu mau makan aku? Aku siap kok kalau kamu mau makan aku." Amanda mengedipkan sebelah mata. "Kamu jangan makan mie sama cewek norak itu. Mendingan kamu makan aku sampai puas."

Orang gila! Saka mengumpat dalam hati. Mulai merasa sadar jika selama ini ia dibodohi paras cantik dan bualan manis yang diberikan oleh Amanda. Apa mata dan hatinya selama ini benar-benar tertutup sampai tidak sadar jika Amanda tidak waras?

Amanda menopang dagu menggunakan tangan kanan. Tatapan matanya jelas sekali tertuju pada Saka. "Ayo balikan lagi. Aku masih sayang sama kamu."

"Wah, kamu beneran gak waras, ya?" Saka geleng-geleng kepala melihat Amanda.

"Aku masih sayang banget sama kamu, Saka. Aku cinta sama kamu."

"Kalau kamu cinta sama aku, kamu gak mungkin selingkuh sama Fajar," potong Saka emosi.

Amanda mendadak ciut. Ia menundukkan kepala. "Tapi aku beneran masih suka sama kamu," kata Amanda lirih. "Kamu kenapa jadi berubah kayak gini sih? Kenapa kamu jadi kasar sama aku?"

Sepertinya bertemu dengan Amanda adalah bencana besar untuk Saka. Selain Rachel yang harus diamankan dari amukan Amanda, Saka juga harus menyelamatkan Fajar. Amanda sudah kelewat batas.

Saka mengetuk-ngetuk telunjuknya di atas meja. Ia meminta supaya Amanda melihatnya. "Kamu gak pernah sadar ya kalau alasan hubungan kita selesai itu gara-gara kamu? Alasan aku berubah juga karena sikap kamu sendiri," jelas Saka pelan dan penuh penekanan.

Isakan kecil terdengar samar. Amanda mengusap pelan sudut matanya. "Aku bisa kok kalau harus punya dua pacar. Aku bakal bisa bagi waktu buat kamu dan Fajar."

Rasanya Saka ingin membanting sesuatu. Mendengar pengakuan barusan semakin membuat kewarasannya hilang. Sabarnya semakin diperas habis oleh Amanda.

"Dengar baik-baik," pinta Saka. "Aku cuma mau bilang ini sama kamu. Pertama, jangan pernah ganggu Rachel. Kedua, jangan ganggu aku lagi. Dan terkahir, putuskan Fajar. Dia terlalu baik dan bodoh buat kamu."

"Kalau aku putus sama Fajar, kamu mau balikan sama aku?"

"Ogah." Saka menjawab cepat sembari berdiri. "Aku pulang duluan," pamitnya berjalan cepat tanpa menoleh lagi ke belakang ketika namanya terus dipanggil.

"Lo kalau datang mau buat kepala gue makin pecah mending balik lagi aja." Saka secara terang-terangan mengusir Rangga yang baru saja menutup pintu.

Alih-alih tersinggung, Rangga justru tertawa cukup keras lalu tetap mendekat ke arah Saka. "Seru nih kalau lo lagi kesal," katanya meninju pelan bahu Saka. "Masalah apa lagi kali ini? Rachel atau Om Henri?"

"Amanda."

"Kenapa Amanda?"

"Dia gak waras. Dia ngajak balikan terus ngoceh gak jelas."

Kali ini tawa Rangga kembali terdengar. "Lo baru sadar kalau Amanda gak waras? Dia tuh emang cakep banget sih, tapi kelakuannya minus."

Saka berkacak pinggang. "Kelakuan lo juga minus. Ngaca!" serunya dongkol. "Lo mau ngapain ke sini? Mau ketemu Rachel? Gak ada. Dia lagi libur."

Bukannya diam dan tentram, Rangga semakin gencar menggoda Saka yang emosinya sedang menggebu-gebu. "Gue mau ketemu lo. Lo kenapa sih kalau gue ketemu sama Rachel bawaannya emosi mulu. Lo cemburu?"

"Dih, ogah." Saka mengedikan bahu. "Gue cuma risi lihat mata lo jelalatan sama Rachel. Lagian lo rajin amat ketemu sama Rachel. Naksir lo sama dia?"

"Lo yang naksir sama dia," sindir Rangga tak mau kalah. "Anjir si Rachel mantap banget bisa buat lo move on secepat ini."

Saka mendorong Rangga sampai ke pintu. "Lo mau keluar sendiri atau gue panggil security?"

"Heh, gue datang ke sini mau kasih info penting." Rangga mencoba meloloskan diri dari kurungan Saka. Berhasil bebas, Rangga berlari cepat dan duduk di kursi kerja Saka. "Kata Devina, Ibunya Rachel kabur. Lo gak mau cari Ibunya Rachel gitu? Biar kesan lo baik di mata dia."

Omongan Rangga kadang ada benarnya juga. Tidak, tidak. Bahkan sebelum Rangga memberi saran, Saka juga sudah memikirkan tentang hal itu. Saka berniat ingin mencari keberadaan ibunya Rachel.

"Gue udah tahu tentang itu. Tadi pas gue ke rumah Rachel, dia sempat cerita tentang itu." Saka duduk di tepi meja kerja. "Gue juga udah kepikiran mau cari Ibunya Rachel. Gue kasihan sama dia," tuturnya terdengar tulus.

"Gara-gara ibunya ya si Rachel banyak hutang?"

Saka menggeleng pelan. "Itu gue gak tahu pasti, tapi tadi sempat ada yang nagih hutang sama Rachel."

Rangga diam memperhatikan Saka yang sedang menatap lurus ke depan. "Lo peduli sama Rachel?" Laki-laki berambut sedikit ikal itu bertanya hati-hati.

"Ya iyalah gue peduli sama Rachel. Dia kan calon istri gue. Kunci warisan gue ada sama Rachel."

Sayangnya Rangga tidak semudah itu dibohongi. Senyuman penuh arti Rangga tercetak jelas. "Hebat," katanya lalu berdiri mendekati Saka. "Sejak putus sama Amanda, lo mulai ada kemajuan yang cukup baik. Lo jadi peduli sama orang lain."

"Kesannya Amanda bawa pengaruh buruk banget sama gue, ya?" Saka melirik Rangga yang sedang sibuk mengamati ruangan. "Tapi lo bener juga sih," tambah Saka.

"Lo tadi ngapain dari rumah Rachel? Gue udah nunggu lo dari tadi tahu."

"Abis numpang makan. Gue abis makan mie."

"Dih, sejak kapan lo suka sama mie? Seorang Saka makan mie?"

"Sejak kapan? Sejak dulu gue suka mie kok," jawab Saka tanpa ragu. "Tadi, gue abis makan mie kuah rasa soto. Enak. Kapan-kapan lo harus cobain."

Rangga mengulurkan tangannya untuk menyentuh dahi Saka. "Sehat lo? Tapi ini gak panas, sih," gumamnya masih terdengar jelas oleh Saka. "Apa ini efek bucin ya?"

Jengah, Saka buru-buru menjauhkan diri dari Rangga. "Lo beneran bikin gue tambah stres, Ranggana," keluh Saka frustrasi. "Balik dah sana buruan. Gue muak lihat lo."

"Nanti malam gak mau minum di tempat biasa?"

"Gak. Gue mending makan mie di rumah Rachel."

"Bilang aja mau ketemu Rachel. Kangen kan lu sama dia?" Rangga masih gencar melancarkan aksi membuat Saka geram. "Ingat mobil ya, bro. Kalau lo beneran suka sama Rachel siapin mobil buat gue."

Taruhan itu. Taruhan yang dibuat antara Saka dan Rangga. Sebuah mobil baru dipertaruhkan oleh keduanya.

Entah siapa yang akan menang. Semoga saja tidak akan ada yang terluka saat mengetahui hal ini.

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang