Sebuah Bantuan

44 1 0
                                    

Rachel berlari pelan menyusul Devina yang baru saja datang lebih awal. Ia memamerkan senyumannya saat matanya bertemu dengan Devina. "Selamat pagi, Mbak!"

"Widih, abis dapat hadiah dari mana? Cerah banget senyumannya." Devina memiringkan kepalanya, sedikit curiga dengan tingkah Rachel. "Balikan sama Bima?"

Kepala Rachel menggeleng kuat. "Enak aja. Aku gak akan pernah balikan lagi sama dia. Aku cuma senang aja karena hari ini cerah," jelasnya yang sebenarnya asal-asalan. Bahkan sejujurnya, Rachel sendiri bingung kenapa pagi ini ia terasa begitu semangat.

Keduanya tergelak singkat, lalu masuk ke dalam kafe untuk memulai hari ini dengan bertemu berbagai jenis pelanggan nantinya.

Waktu berjalan sebagaimana mestinya. Rachel merasa hari ini banyak pelanggan yang datang. Sendiri, berpasangan, ada yang tersipu karena berhadapan dengan orang yang disuka, ada yang sibuk menghadapi laptop dan mengerutkan kening. Dan banyak lagi berbagai jenis pelanggan yang Rachel temui hari ini. Meski terasa melelahkan, nyatanya mendapatkan seulas senyuman dan kata terima kasih ketika ia mengantarkan pesanan membuat ia senang.

Rachel mencintai pekerjaannya. Pekerjaan yang ia dapatkan karena telah membantu Henri yang tidak lain adalah ayah Saka, ketika  menemukan dompetnya yang jatuh. Awal mula seperti di ftv yang sering ditonton oleh neneknya. Sesuatu yang tidak pernah Rachel pikirkan sebelumnya.

"Kamu bebas melamun setelah jadi istri saya. Kalau di sini, kamu tidak diizinkan melamun." Suara bariton Saka terdengar tepat di belakang Rachel. "Kenapa? Lagi mikirin tawaran dari saya?"

Rachel sedikit terlonjak mendapati Saka berdiri di belakangnya. "Pak, ini jantung saya bisa rusak kalau Pak Saka terus ngagetin saya seperti tadi," keluhnya berdecak kesal.

Sejak tawaran itu diberikan, Saka seperti orang yang berbeda. Pesan dari Saka yang biasanya Rachel terima ketika menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan kafe, kini berubah drastis. Selalu ada saja yang dibahas Saka ketika bertukar pesan. Saka seolah tidak kehabisan akal untuk mendapatkan persetujuan dari wanita itu.

"Saya berencana akan memasang AC di rumah kamu." Saka bersandar pada tembok dan menatap Rachel. "Rumah kamu panas, Rachel. Seperti sedang simulasi di neraka," tambahnya tanpa rasa bersalah.

Seperti biasa, Rachel hanya mendengus mendengar celotehan Saka. "Pak Saka tahu rumah saya gak ada AC-nya dari siapa? Pak Saka abis dari rumah saya?"

Begitu di luar perkiraan Rachel, kepala Saka mengangguk dengan seulas senyuman tipis di bibir. "Kemarin, saya ada niat mau ketemu sama orang tua kamu. Mau melamar kamu secara resmi. Ternyata kamu cuma tinggal sama nenek kamu saja. Jadi, ya saya pulang lagi."

Semakin jauh, semakin hari, Rachel merasa jika selama ini Saka hanya sedang berakting. Entah yang mana sebenarnya, Rachel takut keliru jika Saka yang jarang tersenyum dan mudah marah itu sebenarnya hanya bohong belaka. Kini, ia seperti mengenal sisi lain Saka. Sisi yang sedikit kekanakan, tidak mau mengalah, dan ambisius untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Saka yang berusaha selalu tersenyum, dan selalu mengatakan hal di luar nalar Rachel ketika sedang bertukar pesan.

"Saya serius mau menikah sama kamu." Saka kembali mengatakan keinginannya.

"Saya juga serius menolak ajakan Pak Saka." Rachel tidak mau mengalah dan memberanikan diri menatap Saka.

"Kamu belum move on dari pacar kamu yang gay?"

Rachel tahu kalau malam itu Saka menguping pembicaraannya dengan Bima tanpa sengaja. Tidak masalah juga sebenarnya untuk Rachel. Toh, ia dan Bima sudah tidak ada hubungan apapun. "Pak, jangan bahas Bima. Saya sudah sepenuhnya lupa sama dia," jawab Rachel tentu saja berdusta.

"Lalu kenapa kamu menolak saya terus?"

"Rachel ada pesanan!" Devina datang dengan mata yang berkedip beberapa kali. Pandangannya jatuh pada Saka dan Rachel berkali-kali. "Lagi pada ngapain? Pak Saka kenapa ada di sini?" tanyanya penuh selidik.

Saka seperti tertangkap basah hendak akan mencuri. "Saya lagi cek bahan-bahan untuk stok minggu depan," jawabnya berusaha mencoba tenang dan masuk akal. "Lanjutkan pekerjaan kalian." Setelah itu, Saka pergi dari sana.

Tidak. Devina tidak sebodoh itu untuk percaya dengan jawaban bosnya. Ia bergerak pelan mendekati Rachel. "Kamu sama Pak Saka ada hubungan?"

"Ada dong, Mbak. Atasan sama bawahan kan hubungan aku sama Pak Saka." Rachel tertawa samar. "Apa pesanannya, Mbak? Buat meja nomor berapa?" tanyanya, langsung mengalihkan topik pembicaraan.

Setelah Devina menjawab pertanyaan, Rachel bergegas mengerjakan pekerjaannya dengan cepat. Selain karena ingin cepat selesai, Rachel juga ingin menghindari tatapan penuh menyelidik yang dilemparkan Devina.

Ternyata pesanan minuman dingin ini adalah untuk Ranggana Bimantio. Laki-laki yang sering datang ke kafe entah sebagai pengunjung atau tamu untuk Saka.

"Makasih, Rachel."

"Sama-sama, Mas." Rachel membalas senyuman manis Rangga.

"Jangan pergi dulu, Chel," kata Rangga menahan kaki Rachel yang baru saja ingin mundur. "Gue mau nanya sesuatu sama lo."

Dahi Rachel mengerut. "Nanya apa, Mas?"

"Lo suka cokelat?"

Meski bingung, Rachel mengangguk cepat. "Suka. Aku suka cokelat payung," ujarnya menyebutkan makanan manis yang saat ini sudah jarang ada di sekitarnya.

Terlihat Rangga tersenyum senang. "Lo suka warna apa?"

"Hitam sama biru." Rachel kembali menjawab pertanyaan itu tanpa rasa curiga. "Kenapa?"

"Enggak apa-apa. Gue cuma nanya doang," jawab Rangga terkekeh pelan. "Lo di rumah tinggal sama siapa? Ada kakak atau adik gak?"

"Mas Rangga lagi sensus kependudukan?" tanya Rachel mulai menyadari jika ada yang aneh dengan sahabat bosnya itu. "Mau ada apa sih? Aku mau dapat bantuan uang atau sembako?"

Kali ini Rangga tertawa. Menertawakan pertanyaan Rachel. "Enggak. Gue cuma penasaran aja. Jawab aja pertanyaan gue."

"Aku anak tunggal. Tinggal berdua sama Nenek. Ayah udah gak ada sejak aku masih sekolah. Kalau Ibu, aku gak tahu ada di mana." Rachel tersenyum getir. Diam-diam, rindu itu masih selalu ada dan sepertinya akan ada untuk selamanya.

Kepala Rangga mengangguk semangat. "Oke. Makasih jawabannya. Lo bisa kembali lagi ke belakang."

Rasa penasaran mengganjal di hatinya. Rangga memang ramah dan sudah kenal dengan semua karyawan di sini, tetapi sangat tumben sekali laki-laki itu banyak tanya pada dirinya.

Di tempatnya, Rangga segera mengeluarkan ponsel dan mengetikan sesuatu pada seseorang yang masih ada di satu atap dengannya sekarang.

Saka membaca deretan kata yang dikirim oleh Rangga. Bocah tengik itu benar menepati janjinya untuk datang ke kafe dan bertemu Rachel.

Apa kiamat sudah dekat? Bagaimana bisa Rangga dengan sukarela datang jauh-jauh dari kantornya hanya untuk bertemu dengan Rachel?

"Dia naksir sama Rachel kayaknya." Saka berkacak pinggang melihat Rangga yang sedang duduk menikmati minuman kesukaannya. "Atau dia mau sesuatu dari gue sampai baik kayak gini?" tanya Saka, mulai menebak-nebak apa yang dipikirkan Rangga ketika memutuskan datang ke kafenya.

Mengenai informasi dari Rangga. Saka baru ingat jika Rachel katanya suka cokelat. Baik, Saka akan memulai pendekatan ini dengan cokelat yang akan membuat hati Rachel leleh.

Setelah mengetikan balasan untuk Rangga, Saka menyambar kunci mobilnya dan keluar dari kafe.

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang