Warna Kuning

23 3 1
                                    

"Kamu kurang minum obat?" Saka menyentuh kening Rachel. "Enggak usah ngaco ya, sayangku. Kan gak lucu kalau pas akad nikah kita pakai warna kuning," lanjut Saka melembutkan nada suaranya.

"Pak Saka gak suka warna kuning?" tanya Rachel terdengar sendu. "Warna kuning itu lucu, Pak. Cerah dan ceria."

Saka menggaruk pelipis singkat. Apa ini sikap lainnya yang akan ditunjukan Rachel karena akan segera menjadi istrinya? Wajahnya terlihat tidak merasa bersalah setelah mengatakan jika pakaian untuk acara akad mereka nanti ingin warna kuning.

"Pak Saka emang mau warna apa? Putih? Itu udah banyak yang pakai gak sih? Kita pakai yang jarang dipakai orang aja, Pak."

Kali ini Saka menghela napas kasar. Ide yang mungkin bagi Rachel sangatlah luar biasa, tapi menurut Saka terdengar tidak masuk akal. Ia harus menyadarkan Rachel sebelum perempuan itu bertindak semakin aneh.

"Jangan kuning, ya?" Saka mencoba meminta Rachel menimbang kembali.

Melihat wajah Saka yang sangat memelas membuat Rachel ingin meledakan tawa. Kemana Saka yang selalu terlihat galak ketika di kafe itu pergi? Apa Saka yang di depannya sekarang berbeda dengan orang yang dulu pernah membentaknya karena salah mengantarkan pesanan pelanggan?

Acara pernikahan Saka dan Rachel akan dilaksanakan dua minggu lagi. Dan Rachel tidak percaya jika Saka sudah lebih dulu menyiapkan semuanya seorang diri.

Malam ini, Saka datang ke rumah Rachel sesuai janjinya tadi siang. Ia datang membawa berbagai makanan untuk Rachel dan neneknya. Kini mereka berdua sedang membahas tentang pakaian seperti apa yang akan dikenakan di hari pernikahan nanti.

"Pak, tapi ini kita nikahnya terlalu cepat gak sih?"

"Putih aja, ya?" Saka tidak menanggapi pertanyaan Rachel yang sudah ia dengar beberapa kali itu. "Dan tolong berhenti panggil aku dengan sebutan seperti itu."

"Pak nanti kalau keluarga Pak Saka kaget karena tiba-tiba Pak Saka menikah sama karyawannya sendiri gimana?" Sama seperti Saka, Rachel juga memilih kembali bertanya. "Pak jujur aja saya belum siap dengar gosip tentang saya di keluarga besar Pak Saka."

Untuk pertama kalinya Saka melihat ketakutan yang muncul dari sorot mata Rachel. Saka paham dan mengerti bagaimana perasaan Rachel. "Aku yang jamin kalau semua orang bakalan nerima kamu dengan baik."

Jika boleh mengatakan yang sebenarnya, Rachel memiliki banyak sekali ketakutan. Ia was-was jika kehadirannya di hidup Saka akan membuat kacau. Ia juga takut jika beberapa orang akan memandangnya dengan tidak suka. Rachel tidak menginginkan itu. Rachel ingin hidup dengan damai.

"Ada aku. Jangan dengerin omongan orang lain yang sekiranya buat kamu sakit hati." Saka menatap Rachel dengan lekat. "Lagian keluarga aku gak kayak gitu kok. Aku yakin kamu bakal disambut dengan baik."

Tatapan mata Saka terus tertuju pada Rachel yang duduk tepat di samping kanannya. "Besok mau ikut? Kita berkunjung ke rumah saudara Ayah. Aku mau mengenalkan kamu ke mereka."

Mendengar ajakan itu membuat Rachel tersedak ludahnya sendiri. "Enggak deh, Pak. Kapan-kapan aja."

Saka mengangguk paham. "Kasih tahu aku kalau kamu siap. Sebelum menikah, aku harap kamu bersedia ketemu sama mereka."

Rachel tersenyum samar. "Iya, Pak."

Setelah itu keheningan terjadi di antara mereka. Rachel sibuk menatap tembok yang sejajar dengan pandangannya. Sementara Saka sibuk memperhatikan Rachel yang memilih diam.

"Warna putih, ya," pinta Saka setelah beberapa saat hening menguasai.

Otomatis Rachel sedikit memutar kepala menghadap ke arah Saka. "Iya warna putih. Lagian tadi saya cuma bercanda doang," katanya pelan dan lembut.

Melihat senyuman di wajah Rachel membuat Saka mengembuskan napas lega. Rachel memang pandai membuat tidak menentu. "Bercandaan kamu gak lucu tahu, Chel, tapi kenapa sekarang aku gemas sama kamu ya?"

"Terima kasih, Pak. Dari dulu saya memang menggemaskan kok."

Rasa ingin mencubit pipi Rachel mendadak muncul dalam benak Saka, tapi itu tidak mungkin ia lakukan. Jadi, Saka memilih tertawa dan melihat Rachel dengan saksama. "Ini kalau tiba-tiba aku jatuh cinta sama kamu gimana?"

Rachel terkesiap. Pertanyaan itu terdengar aneh sekaligus membuat perutnya mendadak mulas. "Gak gimana-gimana sih. Tapi itu kayaknya gak mungkin terjadi."

"Gak ada yang gak mungkin kan di dunia ini?"

"Iya, tapi untuk hal itu saya gak yakin kalau Pak Saka bakalan tiba-tiba suka sama saya." Rachel tertawa setelahnya. "

"Terus gimana kalau misalkan kamu yang tiba-tiba cinta sama aku?"

"Saya bakal bilang biar gak jadi penyakit," jawabnya setengah bergurau. "Ah, udahlah Pak Saka makin aneh aja pertanyaannya. Pulang aja sana. Udah malam nih."

Saka tertawa melihat Rachel yang tampak gelisah. "Ini obrolan kita soal pakaian buat nanti belum selesai loh."

Sudah hampir larut malam dan Rachel merasa tidak nyaman jika semakin lama bersama Saka. Selain karena tidak enak menerima tamu sampai malam begini, ia juga tidak enak pada hatinya mendadak menggila seperti ini.

Mendadak Rachel merasa semua sikap dan gerak-gerik yang Saka lakukan padanya terasa berbeda. Bagaimana Saka membujuknya dan tidak marah ketika ia memberikan gagasan tentang warna pakaian membuatnya merasa aneh. Tidak ada emosi dan tatapan lembutnya sungguh membuat Rachel ingin meleburkan diri saja.

"Ya udah besok aku meliburkan diri aja kalau gitu."

"Mau ngapain?" tanya Rachel.

"Buat urus persiapan pernikahan kita. Besok aku jemput kamu, ya."

Mau tak mau Rachel menganggukkan kepala. "Oke. Sekarang Pak Saka pulang aja dulu."

"Itu udah disetting dari sananya kah buat manggil aku dengan sebutan seperti itu terus?" Saka geleng-geleng kepala setiap kali mendengar sebutan itu.

Decakan kecil diloloskan oleh Rachel. "Susah. Nanti saya belajar dulu. Nanti saya praktek di depan kaca biar gak canggung pas manggil Pak Saka tanpa embel-embel 'Pak'."

Saka menepuk pelan puncak kepala Rachel. "Sayang atau Mas Saka," ujar Saka membuat Rachel spontan menatapnya. "Dua nama panggilan yang bagus untuk aku."

Rahang Rachel nyaris jatuh mendengarnya. Alam bawah sadarnya mencoba menarik paksa supaya diri sadar dan menjauhkan diri dari Saka. Segera saja Rachel bangkit dari sofa dan berdeham pelan.

"Baik, Pak. Saran dari Pak Saka bakalan saya pertimbangkan," ujarnya mencoba biasa saja.

Menyusul Rachel, Saka ikut berdiri dan tersenyum. "Bagus. Kalau gitu aku pulang dulu," katanya. "Nenek udah tidur kan? Aku titip salam aja ya buat nenek."

"Iya nanti saya sampaikan."

Saka undur diri dari hadapan Rachel. Ia keluar rumah dengan senyuman yang terpatri di bibirnya. "Gila lo senyum-senyum sendiri?" Pipinya ditepuk beberapa kali untuk menyadarkan diri. "Kenapa sih gue jadi kayak gini?"

"Pulang, pulang," gumamnya sembari melangkah kian menjauh dari rumah Rachel. "Besok gue harus pergi lagi sama Rachel. Gue harus memastikan kalau pernikahan gue sama Rachel dengan lancar dan sempurna."

Meski hanya menginginkan warisan, Saka ingin tetap memastikan jika semua hal berjalan lancar. Pernikahannya dengan Rachel harus sempurna dalam segala hal. Ia ingin pernikahan ini menjadi yang terbaik dan secuil harapan baik untuk ke depannya tiba-tiba saja muncul dalam benaknya.

"Ini kalau gue beneran suka sama Rachel gimana ya?" Saka mengamati lampu merah yang kini sedang menghadang perjalanan. "Rachel udah selesai sama masa lalunya belum? Rachel terpaksa menikah sama gue. Gue gak yakin kalau suatu hari nanti dia bakal terima gue dengan tulus."

Dan segala keraguan itu hadir memenuhi kepala Saka. Niat awalnya mendadak berbelok menjadi hal lain setelah banyak hari yang ia lewati bersama Rachel.

••••

heyyooo....

segini dulu yess wkwk aku usahakan double up hari ini🙂🚣🏼‍♀️

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang