Diusir

29 4 3
                                    

Tanpa mengindahkan panggilan Rachel, Saka menarik pelan lengan Amanda dan membawanya secara paksa untuk pergi dari rumah Rachel. Ia tidak bisa membiarkan Amanda mengacau lebih lama lagi.

"Saka tangan aku sakit," ringis Amanda setelah berdiri di samping mobilnya. "Biasanya kamu lembut banget sama aku."

Saka mendengus kasar. "Gak usah lebay. Gue gak sekencang itu pegang tangan lo." Setelah itu Saka melepaskan tangan Amanda. "Lo beneran gak dengerin omongan gue ya?"

Amanda mengerjapkan mata dengan kepala yang sedikit mendongak ke arah Saka. "Omongan yang mana? Yang katanya kamu cinta banget sama aku?"

Kepala Saka benar-benar pusing setiap kali meladeni Amanda. Masih tidak habis pikir kenapa selama ini ia bisa bertahan begitu lama dengan perempuan seperti Amanda. Setelah di kafe, sekarang mantan pacarnya melanjutkan ulah yang membuat batas emosinya ada di garis terakhir.

"Duh, gue udah malas banget berurusan sama lo." Saka menjauhkan tangan Amanda yang hendak menyentuh dadanya. "Lo jangan macam-macam, Amanda. Lo gak sadar ini lagi di pinggir jalan? Lagian lo kenapa jadi kayak gini sih?"

Perempuan cantik itu tersenyum manis. "Aku cuma mau satu macam, sayang. Aku cuma mau balikan sama kamu," jawabnya tanpa beban sama sekali. "Omong-omong kita bisa pergi ke tempat yang lebih romantis dan hanya ada kita berdua." Amanda mengedipkan sebelah matanya.

Cewek gila! Saka otomatis mundur melihat Amanda yang bertingkah semakin aneh. "Sana pulang," usirnya terang-terangan.

"Aku mau sama kamu."

"Gue mau ketemu sama Rachel. Gue mau bahas soal rencana pernikahan sama dia."

"Kamu mending nikah sama aku aja."

"Ogah." Saka menolak langsung. "Udah sana buruan balik dan jangan pernah ke sini lagi."

Amanda menghentakkan kakinya beberapa kali. Persis seperti anak kecil yang merajuk karena tidak dibelikan balon. "Saka," panggilnya dengan nada yang manja.

"Apalagi sih?" tanya Saka berusaha meluaskan rasa sabarnya. "Lo mau apalagi kali ini? Lo masih mau tas yang fotonya lo kirim sama gue?"

Kali ini senyuman hadir di bibir Amanda. Ekspresi wajahnya mendadak cerah. "Kamu mau beliin aku tas itu kan?"

Saka menarik napas dalam-dalam lalu ia embuskan perlahan. "Enggak. Gak usah mimpi di siang bolong kayak gini," balas Saka tegas. "Hati-hati di jalannya. Gue mau ketemu sama calon istri gue dulu." Saka membalikkan badan lalu melenggang pergi setelah melambaikan tangan beberapa kali.

Di tempatnya Amanda merasa murka. Ia menatap kepergian Saka dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Hanya satu hal yang sudah begitu jelas sekarang. Amanda akan membuat Rachel menyesal karena telah membuat Saka berpaling dari dirinya.

Tidak lagi melihat ke arah belakang, Saka terus melangkah dengan mantap untuk kembali ke rumah Rachel. "Duh, gue gak habis pikir kok bisa gue pernah cinta banget sama Amanda," gumamnya.

"Mbak Amanda mana?" Rachel menyambut kedatangan Saka dengan sebuah pertanyaan.

"Pulang." Saka mendekati Rachel dan berdiri di sebelahnya. "Aku suruh dia pulang."

Rachel mengangguk paham dan tidak ingin tahu lebih jauh apa yang telah terjadi di antara Saka dan Amanda. Bahkan sebenarnya Rachel juga tidak mengharapkan Saka kembali lagi menemuinya. Akan lebih baik jika sebenarnya mereka berdua pergi bersama.

"Mana?" tanya Saka kemudian.

"Apa?" Rachel mengerutkan kening.

"Mie soto pake telur."

Rachel tersenyum kecil. "Gasnya abis. Pak Saka beli aja di warung kalau mau mie soto," ujar Rachel yang tentu saja bohong.

"Bohong." Saka tidak akan percaya begitu saja pada ucapan Rachel. "Bilang aja kamu gak mau kalau aku berlama-lama ada di sini, kan?"

Oh akhirnya ada yang sadar diri. Rachel bersorak dalam hati mengetahui jika Saka mulai paham akan isi kepalanya. Tidak menjawab apapun, Rachel hanya tersenyum dan langsung dibalas decakan kecil oleh Saka.

Saka menatap pipi Rachel lebih dekat. Ia ingin memastikan jika perempuan di hadapannya ini berada dalam keadaan yang baik. "Pipi kamu udah gak apa-apa?"

Melihat Saka yang semakin mendekat membuat Rachel mundur beberapa langkah. "Jaga jarak lima meter, please," pintanya. "Saya gak apa-apa, Pak. Sekarang Pak Saka bisa langsung pulang aja."

"Gak apa-apa gimana, itu pipi kamu habis ditampar sama Amanda, kan?" Saka geleng-geleng kepala melihat Rachel yang masih saja selalu mengatakan jika semuanya baik-baik saja. "Kalau dia ke sini lagi, kamu bisa langsung hubungin aku. Opsi terbaiknya, kamu gak usah buka pintu kalau dia ke sini. Jangan lupa blokir nomor dia juga."

Seperti mendengar nasihat dari orang tua, Rachel menganggukkan kepala. Bukan karena patuh, tapi karena supaya semua urusan kali ini cepat selesai. "Saya mau tidur siang nih, Pak," ujarnya memberitahu. "Pak Saka pulang aja. Saya mau menghabiskan waktu santai saya sebagai pengangguran."

Saka paham apa yang dikatakan Rachel sekarang. Melihat raut wajah perempuan itu membuatnya ingin tertawa. "Ini beneran gak jadi dikasih mie?" tanyanya. "Niat saya ke sini sekalian mau bahas tentang pernikahan kita juga loh."

"Nanti aja. Sekarang Pak Saka balik lagi aja ke kafe. Gak baik pergi terus di jam kerja."

Bukannya menanggapi ucapan Rachel, Saka malah mengeluarkan dompet dan mengambil sesuatu dari sana. Sebuah kartu yang kemudian diserahkan pada Rachel. "Buat beli gas sama mie soto."

Rachel menatap kartu yang ada di tangannya dengan tatapan tak percaya. "Gak usah. Saya masih ada uang buat beli gas doang mah."

"Pakai aja buat beli kebutuhan kamu," ujar Saka menahan kartu itu agar berada di genggaman Rachel. "Ajak Nenek makan yang enak. Beli apa aja yang kamu mau."

"Nanti kalau saya boros gimana?" tanya Rachel mencoba mencari cara agar kartu itu kembali pada Saka. "Saya orangnya boros loh, Pak. Saya bisa habisin uang yang banyak dalam satu hari."

Saka terkekeh mendengar pengakuan barusan. "Warisan yang bakal aku dapat itu berkat bantuan kamu. Jadi, gak masalah kalau kamu boros," tuturnya terdengar santai. Lagi pula ia tahu jika Rachel hanya sedang berbohong. "Aku ke kafe dulu. Nanti malam aku ke sini lagi buat bahas pernikahan kita. Jangan lupa jajan yang banyak."

Usapan lembut yang diberikan di puncak kepalanya sebelum Saka pergi membuat Rachel mematung. Ia tidak menyangka jika tindakan sekecil itu bisa membuat sesuatu di dalam dirinya hilang kendali. Pipi bagian dalamnya ia gigit pelan, menahan diri supaya tidak tersenyum.

"Sadar diri. Bangun, Rachel." Kali ini Rachel menepuk kedua pipinya. "Gak boleh kayak gini. Aku cuma mau bayar hutang dan gak boleh mikir yang aneh-aneh."

Apa yang dikatakan Amanda masih ia ingat dengan jelas. Meski tidak sepenuhnya ia ambil hati, tapi Rachel tidak akan berbohong jika yang dikatakan Amanda adalah benar. Dirinya tidak pantas untuk bersama Saka. Hubungan mereka hanya saling memanfaatkan satu sama lain. Tanpa didasari sebuah rasa apapun.

Lalu, bisakah ia bertahan setelah pernikahan itu terjadi? Tanpa rasa sayang dan cinta? Bisakah ia tinggal bersama seseorang yang bahkan sejak awal mengaku jika dirinya dibutuhkan hanya karena ingin mendapatkan sesuatu?

"Udah terlambat kan kalau aku mau batalin pernikahan ini?" Rachel kembali masuk ke rumah.

••••

heyoooo....

maapkeun baru update yaa. kalo ada typo kasih tau aku🙏🤩

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang