Sebuah Perbedaan

13 1 0
                                    

Nyatanya, Saka memang tidak diberi kesempatan untuk membuktikan jika semua keadaan akan baik-baik saja jika dirinya dan Rachel tetap bersama. Rachel terus menghindarinya dengan berbagai cara. Bahkan, ayahnya juga sudah turun tangan tetapi tetap tidak bisa membuat Rachel luluh dan mau menerimanya kembali.

"Rachel belum mau ketemu sama kamu, Nak."

Untuk kesekian kalinya Saka tidak berhasil menemui Rachel. Selalu jawaban seperti itu yang ia dapatkan ketika datang berkunjung. Kepala Saka rasanya mau pecah. Mengingat kembali kenangan yang telah ia lewati bersama Rachel membuatnya tanpa sadar tersenyum kecil.

Seharusnya, Saka sedang duduk berhadapan bersama Rachel. Sedang membahas mie instan mana yang enak ketika dinikmati sewaktu hujan mengguyur bumi. Seharusnya, saat ini mereka berdua sedang membahas kenapa warga Raja Langlang gagal panen akibat musim kemarau. Seharusnya, Rachel ada di hadapannya. Sedang tersenyum sembari sesekali mendengus kesal karena mendengar ocehan Saka yang kadang tak masuk akal.

Namun, itu semua hanya ada dalam angan Saka. Karena nyatanya, Saka saat ini sedang duduk sendiri. Di hadapannya hanya ada mie instan rasa soto yang dulu terasa begitu nikmat, tapi sekarang entah kenapa terasa tidak enak. Padahal mie yang ia masak sama persis seperti yang biasa dibuatkan oleh Rachel. Seharusnya rasanya tetap sama kan?

Mengenai perceraian, Saka dan Rachel sudah resmi berpisah. Saka memang tidak ingin itu terjadi, tetapi ia tidak bisa menahan Rachel. Saka ingin Rachel bahagia. Mungkin dengan berpisah bisa membuat Rachel bahagia. Mungkin. Namun yang jelas perpisahan itu sama sekali tidak membuat Saka bahagia.

"Kamu harus setuju. Akan aku maafkan dan lupakan semuanya asal kamu setuju kalau kita harus bercerai." Sore itu, sewaktu Saka datang untuk memberitahu di mana makam ibunya, Rachel mengatakan hal tersebut. "Aku mau bahagia. Aku gak mau hidup di kelilingi sama orang-orang yang terus suka berbohong. Jadi, aku mohon lepaskan aku, ya," pinta Rachel.

Itu merupakan hari terakhir Saka bertemu Rachel. Setelahnya, ia tidak pernah bertemu lagi meski hampir setiap hari datang berkunjung. Saka tidak tahu di mana Rachel bekerja. Saka tidak tahu apa rambut Rachel panjangnya sudah melewati punggung, dan Saka juga tidak tahu apa Rachel masih suka menikmati mie instan ketika merasa sedih.

"Rachel baik-baik saja. Dia makan dengan baik dan bahagia." Itu kata nenek sewaktu Saka menghela napas kasar karena tidak bisa bertemu Rachel. "Kamu harus khawatirkan diri kamu sendiri, Saka. Kamu sepertinya terlalu lelah dan kurang tidur," tambahnya melihat penampilan Saka akhir-akhir ini.

Saka menjadi lebih gila pada pekerjaan. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya supaya tidak terus mengingat Rachel.

"Mie itu muak lo aduk-aduk terus, Saka." Dari arah belakang, Rangga datang seraya menepuk punggung Saka. "Lo kalau kangen Rachel jelek banget. Buang aja itu mienya, udah mengembang gitu. Lo diemin berapa lama sih?" ocehnya menarik mangkuk berisi mie dari hadapan Saka.

Saka terkekeh pelan. "Lo kapan datang? Kok bisa masuk? Emang pintunya gak dikunci?"

"Tolol," maki Rangga jelas sekali emosi terselip di sana. "Pintu rumah lo kebuka. Lo kalau ada maling juga kayaknya gak bakal sadar."

"Oh, gue lupa kunci kayaknya."

"Iya. Di otak lo yang diingatnya cuma Rachel doang, kan?" Rangga menarik kursi kemudian duduk di sebelah Saka. "Kata gue, lo mending buruan move on deh. Lo mending balik suka mabuk-mabukan aja kayak dulu. Daripada galau gini, gak cocok."

Mata Saka mendelik. Saran dari Rangga sama sekali tidak masuk akal. "Sesat. Saran dari lo sesat banget. Gue udah gak mau ngelakuin hal gak jelas kayak dulu."

"Kalau gitu lo coba cari cewek lain aja. Amanda, deh. Lo balikan aja sama dia. Fajar sama Amanda udah putus kan?"

"Itu makin sesat, Rangga." Saka tidak menoyor pelan kepala teman karibnya itu. "Makasih sarannya, tapi saran dari lo belum ada yang bisa gue terima dan terapkan."

Rangga tertawa pelan melihat reaksi Saka. Ya, setidaknya Saka lebih baik misuh daripada melamun seperti tadi. "Lo percaya soal jodoh dan takdir kan? Mau sejauh apapun dan selama apapun lo sama Rachel berpisah, kalau kalian berdua udah ditakdirkan buat berjodoh sama Tuhan. Gue yakin kalian berdua akan kembali bertemu dan bersatu."

Senyuman kecil itu menghiasi bibir Saka. "Tapi menurut lo, gue sama Rachel berjodoh gak?"

"Lo tanya aja sama peramal yang suka ada di pasar malam tuh."

"Makasih sarannya," balas Saka jengkel.

••••

Berbanding terbalik dengan Saka, Rachel justru terlihat ceria menjalani hari-harinya. Senyumannya merekah kala melihat tetes air yang sejak tadi membasahi bumi. Dari tempatnya kini berdiri sekarang, Rachel bisa melihat banyak kendaraan berlalu lalang. Beberapa orang berjalan di bawah payung sembari sesekali bercanda bersama seseorang yang berjalan di sebelahnya. Pemandangan biasa yang sering ia saksikan.

Rachel menyukai pekerjaanya yang sekarang. Ia menyukai hari-harinya yang selalu dikelilingi bunga cantik dengan beragam macam warna dan wangi yang berbeda. Alangkah bersyukurnya Rachel bisa mendapat tempat kerja baru yang sangat nyaman dan lingkungan kerja yang sehat.

"Rachel, pesanan buat nanti jam tujuh dari Pak Dito udah kan?" Suara halus itu membuat Rachel membalikkan badan. "Itu katanya buat acara lamaran Pak Dito, jadi harus dibuat secantik mungkin buket bunganya."

"Sudah, Bu. Tadi pagi Cantika juga udah bilang kok sama saya."

"Bagus kalau gitu," katanya tersenyum lega.

Inilah kehidupan Rachel yang baru. Ia bekerja di sebuah toko bunga yang setiap harinya membuat ia sibuk bermain-main dengan bunga dan berbagai permintaan dari para pelanggan. Sempat kesulitan di awal, akhirnya sekarang Rachel mulai terbiasa dan menikmati semuanya. Rachel mencintai dunianya yang sekarang.

Haruskah Rachel katakan jika dirinya jauh lebih bahagia? Juga, haruskah Rachel secara gamblang menyatakan kalau dirinya sama sekali tidak menyesal karena telah berpisah dari Saka?

"Mbak Rachel tahu gak?" Tiba-tiba seorang gadis datang mengagetkan Rachel. "Kemarin tuh ada yang tanya-tanya soal Mbak Rachel," ujarnya semakin mendekat ke arah Rachel.

"Tanya apaan? Ah, udahlah kamu suka ngarang." Rachel terkekeh geli melihat Cantika yang setiap hari ada saja bahan untuk membuatnya tertawa.

"Ih, beneran loh, Mbak. Dia katanya suka sama Mbak Rachel."

Rachel terbahak pelan. Cantika ini salah satu alasan kenapa Rachel semakin betah bekerja di sini. "Hush, jangan ngawur."

"Awas aja nanti kalau orang itu datang ke sini, aku bakalan langsung suruh dia ngobrol sama Mbak," ancam Cantika yang dibalas gelengan kepala oleh Rachel. "Orang itu ganteng, Mbak. Aku yakin Mbak pasti bakalan cocok banget kalau sama dia."

Masalahnya, Rachel tidak berniat untuk menjalin kisah bersama orang lain. Rachel sedang menikmati kesendiriannya sembari membuat neneknya bahagia. Rachel belum mau membuka hati untuk siapapun.

"Mbak udah move on kan dari mantan suami, Mbak?"

Telak.

Pertanyaan itu selalu tidak pernah bisa dijawab secara langsung dan gamblang oleh Rachel. Ia selalu kesulitan untuk menjawab pertanyaan sederhana itu. Padahal pertanyaan itu seharusnya bisa ia jawab dengan cepat dan tegas, tetapi entah kenapa lidahnya terasa sulit setiap kali menyinggung masalah perasaannya pada Saka.

"Wah, hujannya makin besar." Rachel mengalihkan pandangannya kembali ke luar. "Kalau hujan gini enaknya makan mie gak sih?" tanyanya pada Cantika yang ikut mengalihkan pandangan ke luar.

Omong-omong mengenai mie. Apa Saka masih menyukai mie rasa soto yang selalu ia suguhkan ketika datang ke rumah?

Kenapa malah jadi inget Saka, sih?

Rachel mendadak ingin membenturkan kepala karena di sekitarnya sekarang entah kenapa ada banyak hal yang terus membuatnya memikirkan Saka.

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang