Pulang; selesai

20 1 0
                                    

Rachel berhasil menjelaskan semua pada neneknya dengan kepala yang dingin. Meski sesekali ia berhenti untuk menghela napas karena merasa sesak, pada akhirnya Rachel bisa menjelaskan semuanya tanpa ada yang dikurangi dan ditutupi. Bahkan Rachel juga sudah mengungkapkan niatnya untuk berpisah dengan Saka.

Mungkin saja neneknya sudah bisa menerima keadaan. Sudah bisa menerima apa yang akan terjadi pada putri satu-satunya sehingga ketika mendapat kabar tidak menyenangkan itu hanya menundukkan kepala dan terisak pelan. Namun tetap saja Rachel bisa melihat jelas jika neneknya begitu sedih.

"Kasih tahu Nenek kalau kamu sudah tahu di mana makam Ibu kamu, ya," pintanya sama persis seperti Rachel meminta pada Saka. "Kita ke sana bareng."

Rachel mengangguk kemudian menarik tangan perempuan paruh baya itu untuk digenggam. "Aku minta maaf, Nek. Kalau aja Ibu gak mikirin masa depan aku, mungkin aja Ibu masih ada di sini sama kita."

"Semua Ibu mau yang terbaik buat anaknya, sayang."

"Tapi apa yang Ibu lakukan tetap gak membuat aku dapat masa depan yang bagus, Nek. Dan, aku juga bakalan lebih memilih Ibu tetap ada di sini daripada harus kuliah ataupun hidup dari uang orang itu."

Sayangnya itu semua tidak akan pernah bisa diulang. Waktu tidak akan pernah bisa diputar barang sedetik pun. Rachel tidak akan pernah bisa meminta pada ibunya untuk tetap bersama dirinya dan menolak tawaran dari Henri. Tidak. Tidak akan pernah bisa.

"Kamu udah janji mau belajar memaafkan semuanya kan? Nenek harap untuk kali ini kamu bisa belajar untuk memaafkan juga." Rambut Rachel dielus penuh sayang. "Ikhlaskan, ya. Nenek tahu, kamu mungkin bosan mendengar omongan itu, tapi Nenek mau kamu belajar buat ikhlas."

Andai semudah itu, Rachel mungkin sudah melakukannya dari lama. Sayangnya tidak mudah. Rachel saja perlu waktu yang lama untuk sepenuhnya melupakan dan merelakan jika cinta pertamanya sudah tiada. Rachel juga cukup lama untuk merelakan jika ibunya memilih pergi entah ke mana. Lalu sekarang, ia harus mengikhlaskan kepergian ibunya untuk selama-lamanya karena menginginkan dirinya hidup nyaman, ternyata itu semua tidak pernah ia dapatkan.

Namun Rachel akan belajar. Ia akan merelakan satu persatu supaya hidupnya jauh lebih tenang. Ia akan melupakan luka-luka yang dimilikinya secara perlahan. Maka langkah pertama yang akan ia pilih adalah dengan cara berpisah dari Saka.

Keputusan itu sudah ia pikirkan secara matang. Rachel akan memutus semua hal yang berhubungan dengan keluarga Saka.

"Gak bisa. Aku mau berhenti, Nek. Aku mau berpisah sama Saka." Rachel menggeleng cepat saat neneknya meminta untuk memikirkan ulang keputusan itu. "Kita mulai semuanya dari awal. Aku akan cari pekerjaan di tempat lain dan kita berhenti berhubungan dengan keluarga Pak Henri."

"Saka anak baik, Rachel. Dia sayang sekali sama kamu."

"Aku juga sayang sama Saka, Nek. Tapi aku gak bisa sama dia."

Bukankah ada beberapa hal yang memang tidak bisa bersama meski keduanya saling mencintai?

"Aku minta maaf, Nek. Untuk kali ini, aku mau ambil keputusan sendiri," ujar Rachel penuh rasa bersalah dan penyesalan. "Setelah ini, aku akan kembali dengar apa yang Nenek sarankan, tapi biarkan sekali aja aku ambil jalan yang menurut aku benar."

Tidak ada jawaban yang diberikan oleh neneknya. Rachel justru ditarik ke dalam pelukan dan keduanya menumpahkan isi netra yang sedari tadi meronta ingin meloloskan diri.

••••

"Apa hal bodoh yang lo lakuin kali ini? Bukannya tadi pagi lo bilang kalau kalian berdua udah aku?" Rangga sungguh bosan melihat wajah Saka yang tertekuk setiap kali datang kepadanya.

Saka menarik napas dalam-dalam lalu diembuskan dengan kasar. "Gue kayaknya bakalan cerai sama Rachel."

Map di tangan Rangga meluncur bebas. Laki-laki itu segera mengambil map berisi berkas penting itu kemudian beralih menatap Saka. "Lo yang bener aja, Saka?" tanyanya sama sekali tidak percaya. "Jangan ngomong kayak gitu. Jelek. Kejadian beneran baru tahu rasa lo."

"Loh beneran." Saka menyandarkan punggungnya pada sofa. Sedetik kemudian Saka tertawa hambar, ia terbayang kembali apa yang dikatakan oleh ayahnya. "Gue kok tolol banget, ya. Kenapa gue gak pernah tahu kalau Ayah berbohong sebanyak itu?"

Rangga berjalan mendekati Saka. Bukannya semakin bahagia, Rangga merasa Saka semakin murung setelah menikah. Letak salahnya bukan pada Rangga atau Rachel. Melainkan pada keadaan dan kenyataan yang selama ini ditutupi begitu apik oleh Henri.

"Om Henri kenapa lagi?"

"Lo tahu kan kalau Ibunya Rachel udah lama ninggalin dia?" tanya Saka dan dibalas anggukan kepala oleh Rangga. "Ternyata Ibunya Rachel pergi karena disuruh sama Ayah."

"Hah? Kok bisa?"

"Ayah minta Ibunya Rachel dengan iming-iming bakalan menjamin hidup Rachel dan neneknya. Ayah bilang, Rachel akan mendapat pendidikan yang layak dan memberi Rachel kehidupan yang nyaman."

Rangga melongo tak percaya. Setiap Saka datang ia selalu mendengar kenyataan baru dan tak pernah gagal membuat terkejut sekaligus heran. "Om Henri kenapa lakuin itu? Apa itu bentuk tanggung jawab atas meninggalnya ayahnya Rachel?" Rangga mencoba menebak-nebak. "Lah, tapi kenapa harus nyuruh pergi? Maksud gue, kenapa kasih uangnya aja gitu? Kenapa malah ribet dan bohongin banyak orang?"

"Lucu kan? Kata Rachel, cara Ayah untuk bertanggung jawabnya lucu banget. Kelewat lucu sampai Ibunya Rachel meninggal."

Sekali lagi Rangga dibuat terpaku atas pernyataan yang dipaparkan Saka. Dari dulu cerita mengenai kehidupan Saka memang tidak ada habisnya. Rangga yang hidup di antara keluarga harmonis tidak jarang meringis kala mendengar cerita dari Saka.

"Ayah mengirim Ibunya Rachel keluar negeri. Hidupnya memang ditanggung sama Ayah, tapi katanya, beliau juga bekerja karena merasa bosan." Saka juga menjelaskan hal serupa pada Rachel saat tadi diperjalanan menuju rumah nenek. "Beberapa bulan yang lalu, Ibunya Rachel sakit dan ternyata penyakitnya cukup parah. Gak sempat tertolong sampai akhirnya beliau meninggal."

Jika seperti ini ceritanya, Rangga merasa Rachel memang wajar kalau meminta bercerai. Namun, jika melihat Saka, Rangga merasa hubungan mereka masih bisa dipertahankan. Saka mencintai Rachel. Rangga paham dan tahu jika sahabatnya sudah mencintai mantan karyawannya itu kelewat dalam. Ah, Rangga tidak tahu apa yang dilakukan Rachel sehingga membuat Saka menjadi seperti sekarang.

Saka mengusap wajahnya kasar. "Gue harus gimana? Gue gak mau bercerai sama Rachel."

"Rachel gak bisa diajak bicara pelan-pelan? Dia sekarang di mana?"

"Pulang."

"Pulang? Ke mana?"

"Rumah Nenek. Semua pakaian dan barangnya udah dibawa semua." Saka tersenyum kecut. "Rachel udah kecewa banget. Rachel udah beneran muak sama kebohongan yang Ayah buat. Rachel juga udah benci sama gue yang sejak awal menikahi dia cuma karena warisan."

Padahal Saka baru saja merasakan hangatnya pelukan Rachel. Ia baru saja tahu rasanya merasa bahagia hanya karena mendapat pujian yang sedari lama ingin ia dengar. Saka juga baru saja merasakan jika bahagia bisa berasal dari hal yang sangat sederhana.

Bersama Rachel, Saka merasakan itu semua. Nyatanya, sejak ia mencoba mendekati Rachel, Saka merasakan bahagia dan hangat meski hanya pada semangkuk mie soto yang selalu disajikan Rachel ketika ia berkunjung ke rumah. Saka mulai paham jika ada seseorang yang mau diajak mengobrol begitu oleh anak-anak panti dengan senyuman yang terus merekah.

Rachel melengkapi kepingan itu. Kepingan yang selama ini tak pernah bisa diisi oleh siapapun. Bahkan oleh Amanda yang pernah menempati hatinya cukup lama.

Saka mencintai Rachel. Sudahkah Saka mengatakan hak itu pada Rachel? Rasanya Saka belum mengatakan jika dirinya begitu mencintai Rachel.

Dan sepertinya, ia tidak akan diberi kesempatan untuk mengatakan itu semua.

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang