Akhiri Saja

12 1 0
                                    

"Berhenti meminta maaf." Masih dalam posisi yang sama, Rachel menatap lurus ke depan tanpa berniat sedikit pun melihat Saka yang sejak tadi terus mencoba menenangkan dirinya. "Setelah ini, coba tanyakan di mana makam Ibu. Aku mau ke sana sama Nenek," pinta Rachel yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Saka.

Saka terus mengusap tangan Rachel sejak tadi. Satu tangannya terulur untuk menyeka air mata Rachel yang kembali lolos membasahi pipi. Rachel kembali menangis tanpa suara. Tatapan matanya kosong dan kesedihan tergambar jelas di sana. Saka tidak tahu jika melihat seseorang menangis akan membuat hatinya begitu terasa sakit.

Rachel tidak menanyakan apapun selama Saka menjelaskan apa yang telah dilakukan oleh ayahnya. Semua itu Rachel dengarkan begitu saksama setelah ia selesai menangis. Rachel rasanya sudah tidak ada tenaga untuk bertanya banyak hal yang berlarian di kepalanya. Apa yang dikatakan Saka sudah terlalu jelas untuk memahami keadaan yang selama ini menimpanya.

"Ibu sudah pergi terlalu lama. Aku udah siap jika kemungkinan ini akan terjadi, tapi aku gak pernah nyangka kalau Ibu pergi karena alasan ingin aku hidup bahagia."

Bahkan mau dikatakan berapa kali pun, Rachel merasa jika hidupnya jauh lebih bahagia ketika keluarga mereka masih bersama dan utuh.

"Cara Ayah kamu bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa Ayah terlalu lucu." Rachel kali ini tersenyum kecil menatap Saka. "Kasih uang tutup mulut supaya masalahnya gak diperpanjang. Mau bayarin hutang Ibu dengan syarat Ibu harus pergi meninggalkan aku dan Nenek. Lebih lucu lagi Ibu yang setuju atas persyaratan itu karena Ayah kamu menjanjikan akan membuat hidup aku nyaman dan bahagia."

Kenyataannya tidak seperti itu. Rachel tidak merasa bahagia setelah ibunya pergi. Hutang-hutang itu pun tidak dilunasi sehingga ia bekerja jauh lebih keras. Ralat, sudah dilunasi sebenarnya, tapi sekali lagi ia dibohongi oleh seseorang yang pernah ia anggap sebagai penolong padahal aslinya orang itu yang menjadi penyebab hidupnya jungkir balik.

"Aku juga gak tahu kalau selama ini orang yang membuat Ibu kamu pergi itu Ayah." Saka bahkan rasanya masih tidak percaya kalau ayahnya tega melakukan hal seperti itu. Mengacau di kehidupan orang lain tanpa berpikir dua kali. "Nanti aku tanya lagi sama Ayah di mana Ibu dimakamkan, ya. Nanti kita ke sana bareng."

Rachel menggelengkan kepala. "Gak usah. Biarin aku sama Nenek aja yang ke sana."

Saka mengalah dan menganggukkan kepala.

"Bagaimana kalau kita berhenti di sini saja?" Suara parau Rachel memecah keheningan yang menguasai suasana. "Sebelum terlalu jauh, aku rasa hubungan kita gak bisa dilanjutkan."

Kali ini giliran Saka yang dibuat jantungan oleh Rachel. Kemungkinan ini sudah ada di kepalanya, tapi kenapa harus datang secepat ini? Saka baru saja ingin memperbaiki semuanya dari awal. Saka ingin membuat banyak cerita di hari esok dan seterusnya, bersama Rachel.

Saka menaruh seluruh perhatiannya pada Rachel. "Aku tahu ini terlalu menyakitkan untuk kamu, tapi bisa gak kamu kembali pertimbangkan soal ini?" Harapan Saka agar Rachel tidak pergi dari hidupnya begitu besar. "Ambil waktu sebanyak yang kamu mau, Chel. Kamu boleh anggap aku gak ada, tapi kita jangan berhenti. Kita harus tetap bersama. Biarkan aku mencintai kamu untuk waktu yang lama dan selamanya."

Bagi Rachel semuanya sudah terasa melelahkan. Mungkin yang terjadi sekarang memang tidak akan mengubah apapun terhadap keluarga dirinya. Namun, Rachel merasa dirinya sudah dibohongi begitu banyak oleh keluarga Saka. Rachel merasa dipermainkan.

"Aku gak bisa. Setelah ini, aku akan pulang ke rumah Nenek. Aku akan menjelaskan semuanya dan tinggal di sana lagi."

"Kamu jangan pergi dari rumah, biar aku yang keluar."

"Gak perlu," potong Rachel. "Ini rumah kamu, aku yang harus keluar dari sini."

Saka ingin bersama Rachel. Saka ingin bahagia bersama perempuan sederhana itu. Kenapa keadaan membuat hubungan mereka menjadi rumit? Mungkin tidak akan rumit jika Rachel mau memaafkan semua kesalahan ayahnya dan memilih melupakan semua yang telah terjadi, tetapi rasanya itu terlalu sulit. Apalagi yang sudah dilakukan oleh ayahnya itu sangat keterlaluan.

"Kamu udah dapat warisan kan dari Ayah? Tugas aku udah selesai. Syarat dari Ayah kamu supaya beliau melunasi hutang Ibu juga sudah aku lakukan. Jadi, aku bisa pergi dari hidup kamu," jelas Rachel seraya tersenyum. Matanya jelas sekali sembab karena tangisan pilu yang terjadi beberapa menit yang lalu. "Oh iya, kalau gak keberatan mungkin aku bakal cari kerja dan balikin uang yang Ayah kamu pakai buat lunasi hutang Ibu."

Tanpa menengok lagi ke belakang, Rachel melenggang ke kamar untuk segera mengemas pakaian yang akan ia bawa pulang. Ia harus segera pergi dari rumah mewah ini. Sejak awal, Rachel memang tidak pantas berada di sini, berada di sebelah Saka dan menjalin kisah bersama laki-laki baik hati itu.

Saka berlari menyusul Rachel. Menahan setiap pergerakan yang dilakukan oleh Rachel. Mencoba mengeluarkan kembali baju dan barang yang sudah dikemas ke tempat semula. "Berhenti, Chel. Kamu gak boleh pergi dari sini."

"Lepas," pinta Rachel, mencoba meloloskan tangan dari cengkraman Saka. "Kisah kita sudah diawali dengan banyak kebohongan, aku gak bisa terus kayak gini."

"Aku tahu, Chel. Maka dari itu aku mau meluruskan dan memperbaiki semuanya, kan? Kamu gak mau kasih aku waktu? Kita bisa memperbaiki semuanya sama-sama."

"Enggak. Aku mau pulang ke rumah Nenek." Pada akhirnya Rachel tetap teguh pada pendiriannya. "Gak ada yang bisa diperbaiki. Kita udah salah dari awal. Berhenti. Tolong."

Perlahan tangan Saka melepas tangan Rachel. Kenyataan jika Rachel memang sudah muak dengan keadaan sekarang membuatnya merasa teriris. Tidak bisakah kisahnya berakhir bahagia? Bukankah baru kemarin dirinya dan Rachel bahagia? Kenapa kebahagiaan itu harus lenyap dalam satu kedipan mata?

"Aku sudah memaafkan semuanya," ujar Rachel menutup koper miliknya. "Aku udah maafin Ibu dan Ayah kamu. Aku udah maafin semua kebohongan yang sudah Ayah kamu rencanakan. Aku akan melupakan semuanya dan membuang jauh-jauh dendam yang aku punya untuk keluarga kamu."

Mendengar penuturan barusan membuat Saka menghela napas lega. "Terima kasih, Chel."

Rachel berjalan beberapa langkah untuk mengambil tas hitam dan ponsel dari atas nakas. "Tapi aku udah gak bisa sama kamu. Mungkin aku terkesan egois atau kekanak-kanakan karena milih berhenti setelah tahu semua cerita itu dari kamu, tapi aku beneran gak bisa sama kamu lagi. Aku minta maaf." Emosi Rachel perlahan menyusut. Sekarang perempuan itu berani menatap Saka lebih dari sepuluh detik.

Lagipula siapa yang mau bertahan dengan anak dari orang yang sudah membuat orang tuanya meninggal? Saka paham bagaimana perasaan Rachel. Sangat paham. Namun apakah ia salah jika ingin memperbaiki dari awal dan mempertahankan Rachel agar tetap bersamanya?

"Antar aku pulang. Biar aku yang menjelaskan semuanya sama Nenek. Terima kasih sudah memberitahu aku semua kebenaran yang selama ini tidak aku ketahui."

Saka menatap Rachel tanpa mengedipkan mata. Rachel tahu arti tatapan mata itu.

"Aku minta maaf. Aku gak bisa."

"Oke, aku antar kamu pulang," kata Saka dengan begitu berat hati.

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang