Kabar Burung

32 1 0
                                    

Beberapa hal kadang memang terjadi tanpa pernah terpikirkan sebelumnya. Rachel tidak pernah berpikir kalau ia akan kehilangan ayahnya secepat ini. Rachel juga tidak pernah berpikir kalau ibunya justru memilih pergi dan meninggalkan Rachel bersama hutang yang begitu menumpuk.

Sekarang, Rachel tidak pernah sekalipun berpikir akan dihadapkan pada Saka yang memintanya untuk menjadi istri hanya karena warisan. Tidak pernah sama sekali. Namun, kenyataan ini yang sekarang sedang dihadapinya.

Permintaan dari Henri terus berputar di kepalanya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Permintaan Saka ataupun Henri tidak boleh ia terima bukan?

"Kenapa? Nenek lihat dari tadi kamu murung terus."

Pertanyaan dari neneknya menarik Rachel agar tetap waras. Kepalanya menggeleng pelan. "Gak apa-apa, Nek."

"Yakin?"

Rachel tersenyum. "Yakin."

Padahal isi kepalanya sedang semrawut. Sedang memikirkan banyak kemungkinan yang akan terjadi jika ia menolak permintaan Saka atau sebaliknya. Rachel merasa beban di pundaknya semakin terasa berat. Mungkin saja jika ibunya masih ada di sebelahnya, Rachel pasti tidak akan mengalami hal seperti ini.

Rachel tersenyum getir membayangkan bagaimana jika kecelakaan itu tidak pernah terjadi. Meski hidup sederhana, Rachel yakin ia akan bahagia. Ia bisa tidur nyenyak dan makan nasi goreng buatan ibunya. Masih bisa mendengarkan lagu dangdut lawas bersama ayahnya.

Semuanya itu hanya seandainya saja. Semuanya sudah terjadi dan berlalu cukup lama. Sekarang, Rachel justru sedang duduk bersebelahan dengan neneknya ditemani teh hangat dan gorengan yang dibuat oleh neneknya. Rachel harus menerima jika kenyataan yang sedang dijalaninya sekarang adalah seperti ini.

"Nenek kayaknya mau kerja cuci gosok baju deh, Chel. Di rumah terus bosen. Nenek juga mau bantu kamu biar hutang itu cepat lunas."

Sekali lagi Rachel dibuat terkesiap dan menatap neneknya dengan lekat. "Nenek di rumah aja. Biar aku yang kerja dan melunasi semuanya."

Rini tersenyum samar. "Nenek masih kuat, Rachel. Nenek juga mau bantu-bantu kamu biar hutang itu cepat lunas."

"Enggak usah, Nek," ujarnya. "Nenek duduk di rumah aja. Kalau bosan, Nenek bisa nonton TV atau main ke rumah tetangga, kan?" Rachel terkekeh memeluk pinggang neneknya.

"Nenek suka kasihan sama kamu yang harus banting tulang sendirian." Rini berkata lirih.

"Aku gak apa-apa, Nek," kata Rachel berusaha meyakinkan jika semuanya baik-baik saja.

Rini membalas pelukan Rachel. Tangannya terus mengusap lengan Rachel yang terasa hangat. Cucunya sudah dewasa. Sudah tidak lagi berlari karena enggan makan dan disuruh tidur siang. Rachel tumbuh menjadi sosok yang kuat dan cantik.

Entah perasaan Rini saja atau tidak, ia yakin jika cucunya sedang menyembunyikan sesuatu. Bukan perihal pekerjaan. Ia menebak jika hal ini yang membuat cucu cantiknya sejak tadi terlihat berbeda. "Katakan sama Nenek yang sebenarnya. Nenek akan mendengarkan cerita kamu," pintanya mencoba membujuk supaya Rachel berkata jujur.

"Nek, Rachel diajak menikah." Seketika beban yang sejak tadi menggelayutinya luruh. "Rachel diajak menikah sama Pak Saka," tambah Rachel berani jujur.

Sejak keluar dari rumah sakit, Rachel tidak mengatakan apapun pada Saka. Ia menyimpan permintaan dari Henri seorang diri. Rachel sempat menangkap jika Saka terlihat bingung dan sesekali menanyakan apa yang telah terjadi di antara dirinya dan ayahnya.

"Enggak ada apa-apa, Pak. Saya sama Pak Henri cuma ngobrol biasa." Rachel menjawab kebingungan Saka dengan bohong. "Saya mau tidur sebentar boleh?"

"Silakan," jawab Saka cepat.

Rachel hanya memejamkan mata. Alibi supaya bebas dari pertanyaan dan kontak mata dengan Saka.

"Pak Saka? Pak Saka bos kamu?"

Identitas Saka memang sudah diketahui oleh Rini. Bukan karena Rachel yang memberitahunya, tetapi Saka sendiri yang datang dan memperkenalkan diri beberapa jam yang lalu, saat ia mengantarkan Rachel sampai ke depan pintu.

"Kamu sama Pak Saka sejak kapan ada hubungan? Kamu nggak pacaran sama dia pas masih jadi pacar Bima, kan?" tanya Rini dengan intonasi yang pelan.

Rachel menarik tangan neneknya untuk ia genggam. "Enggak, Nek. Aku sama sekali gak pernah selingkuh."

"Lah, terus masa bos kamu tiba-tiba ngajak menikah, sih?" potong Rini seakan tidak sabar. "Dia gak punya pacar? Kamu suka sama dia?"

Dari mana seharusnya Rachel memberitahu semua ini pada neneknya? "Pak Saka udah putus sama pacarnya, dan aku gak suka sama Pak Saka."

Rini menghela napas kasar. Ditatapnya dalam-dalam mata cucu satu-satunya itu. "Terus kamu mau kayak gimana? Kamu mau menerima permintaan Pak Saka?"

"Rachel gak tahu, Nek. Rachel bingung." Seharusnya Rachel tidak usah bingung karena dirinya memang tidak ada niat untuk menikah dengan Saka.

Namun masalahnya semua hutang yang sudah mengejarnya membuat ia terus berpikir dua kali supaya menerima tawaran Saka. Sudah berapa tahun Rachel berusaha melunasi hutang yang ditinggalkan ibunya? Sudah berapa pekerjaan yang ia ambil dan terima? Rachel berusaha keras supaya ia segera melunasi hutang itu. Sayangnya uang yang ia kumpulkan selama ini belum cukup untuk melunasi semuanya.

Tawaran dari keluarga Saka terdengar menggiurkan, dan itu pasti bukan sekadar janji belaka.

"Pikirkan keputusan kamu dengan baik. Nenek akan mendukung apapun yang kamu pilih."

Suara pintu yang diketuk membuat Rachel dan Rini terkesiap. Mereka saling melempar tatapan penuh tanda tanya.

"Ada tamu. Biar aku cek siapa yang datang." Rachel melepaskan diri dari neneknya dan bergegas menuju pintu.

"Ngapain?" Rachel mundur satu langkah melihat siapa yang datang. "Ada yang ketinggalan?"

"Kamu udah setuju sama permintaan saya? Kamu setuju dan mau menikah sama saya?"

"Kata siapa?" tanya Rachel menatap Saka dengan kerutan di keningnya.

Saka tersenyum miring. "Bima. Mantan pacar kamu bilang, kamu akan segera menikah sama saya."

Sialan, rutuk Rachel dalam hati. Rachel pikir ketika Bima pergi dari hadapannya akan melupakan apa yang ia katakan. Rupanya laki-laki itu malah memberitahu hal tersebut pada Saka.

Rachel sepenuhnya keluar dari dalam rumah. Pintu berwarna cokelat polos itu ia tutup dengan pelan. "Jangan keras-keras. Nenek belum tidur," katanya memberi peringatan. "Dan yang Bima katakan itu bohong. Saya bilang seperti itu supaya Bima cepat pergi dari sini."

Saka berdecak kesal. "Tapi saya gak peduli, Rachel. Saya anggap apa yang kamu katakan sama Bima itu benar."

"Pak...." Rachel menatap Saka putus asa.

"Saya akan bilang hal ini sama Ayah. Supaya pernikahan kita segera dilaksanakan," sahut Saka mengabaikan Rachel.

"Siapa tamunya, Rachel?" Rini membuka pintu dan menemukan Rachel sedang berhadapan dengan Saka.

Rachel membalikan setengah badannya dan tersenyum. Sementara itu, Saka mengangkat sebuah plastik putih yang entah berisi apa.

"Buat Nenek." Saka melewati Rachel dan menyerahkan bawaannya, tidak lupa ia mencium tangan wanita paruh baya itu dengan sopan. "Aku gak tahu Nenek suka apa. Jadi, aku beliin martabak aja," ujarnya seakan tidak pernah terjadi sesuatu dengan wanita yang ada di belakangnya.

Rachel sedang menahan diri untuk tidak menarik Saka sejauh mungkin. Mendengar bosnya berkata seperti itu membuat telinganya terasa gatal.

"Terima kasih," kata Rini seraya tersenyum tulus.

"Besok, aku izin bawa Rachel jalan-jalan sebentar boleh gak?" tanya Saka.

Di tempatnya, Rachel menggelengkan kepala. Berharap neneknya paham dan mengatakan 'tidak'.

"Boleh. Asal pulangnya jangan malam."

Sejak kapan neneknya tidak bisa diajak kompromi? Rachel memaksakan senyumannya saat Saka memutar kepala dan menatapnya.

Apa hari esok akan terasa panjang seperti hari ini?

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang