Akhir untuk Awal

35 1 0
                                    

"Saya mau sita rumah kamu." Bu Meta datang dengan wajah yang menyebalkan seperti biasa. "Saya udah capek bolak-balik ke rumah kamu. Serahkan surat tanah dan sertifikat rumah ini," pintanya penuh penekanan.

"Bu, saya janji akan melunasi semuanya, tapi jangan ambil rumah ini." Rachel berkata pelan dan lirih. "Besok saya akan melunasi semuanya. Saya janji," katanya.

Tatapan penuh selidik dilayangkan oleh Bu Meta. "Besok-besok," sentaknya. "Hutang kamu itu masih banyak, Rachel. Kamu mau dapat uang dari mana dalam waktu sesingkat itu?"

"Dari mana pun uangnya saya janji akan bayar."

Di sini lah Rachel sekarang. Di sebuah kafe bergaya minimalis dengan segelas cokelat hangat yang telah dipesannya. Di bawah meja, kakinya terus bergerak kecil untuk mengurangi rasa gugup yang sedari tadi menderanya.

Semalam suntuk Rachel hampir tidak tertidur. Ia tetap terjaga sampai matahari kembali menghangatkan bumi. Kepalanya terasa penuh dan sesak. Memikirkan keputusan yang akan ia ambil setelah diancam rumahnya akan disita jika tidak segera bayar hutang.

Selain takut rumah satu-satunya disita Bu Meta, Rachel juga takut jika kabar itu diketahui neneknya akan membawa pengaruh buruk. Rachel tidak ingin kehilangan rumah ataupun neneknya. Jadi, Rachel sudah memutuskan akan mengambil jalan pintas. Sebuah jalan yang akan membawanya keluar dari lilitan hutang dan datang pada kandang harimau.

"Gak ada jalan lain, kan?" Rachel berbisik pelan. "Bu Meta sepertinya udah beneran lelah sampai mau sita rumah," tambah Rachel mengingat Bu Meta yang terlihat begitu emosi.

"Rachel." Seseorang datang membawa aura yang semakin membuat Rachel tidak karuan.

"Selamat sore, Pak." Rachel mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. "Maaf kalau saya ganggu waktu Bapak."

Laki-laki berkemeja hitam itu menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Saya senang bertemu dengan kamu. Apalagi pertemuan ini untuk mendapat jawaban dari kamu."

Sedikit takut, Rachel memberanikan diri untuk menatap Henri. "Saya sudah memikirkan semuanya, Pak."

Henri menyatukan kedua tangannya di atas meja. "Jadi, apa jawaban kamu?" tanya Henri penasaran.

Jawaban ini akan membawa hidup Rachel jungkir balik. Hampir dua bulan belakangan ini sebenarnya hidup Rachel terasa berbeda. Dimulai dari perpisahannya dengan Bima, Bu Meta yang lebih sering datang menagih hutang, pesan beruntun dari Saka yang setiap hari masuk, juga Saka yang semakin menunjukan eksistensi di sekitarnya.

"Gak mau pesanan sesuatu dulu, Pak?" Rachel bahkan baru sadar jika Henri belum memesan apapun.

"Saya datang untuk mengetahui jawaban dari kamu." Henri menyunggingkan senyuman.

Rachel menghela napas. Bahunya terasa begitu berat. Ini sudah menjadi keputusannya. Entah akan bagaimana ke depannya, Rachel akan menerima dengan lapang dada. "Saya bersedia menikah dengan Pak Saka," ungkap Rachel dalam satu kali tarikan napas.

Senyum puas jelas terpatri di bibir Henri. "Kamu serius?" tanyanya sekali lagi memastikan.

"Ya." Rachel jelas sekali memaksakan senyuman. "Rumah saya akan disita kalau sampai nanti malam tidak melunasi hutang itu. Jadi, saya bersedia menerima tawaran dari Pak Henri," jelasnya begitu gamblang dan jujur.

Tujuan Rachel tentu saja karena uang. Jika dulu ia menolak mentah-mentah pemberian ibunya Bima, maka kali ini Rachel menerima tawaran Henri ataupun Saka. Ia sudah buntu. Apa yang dikatakan Bu Meta bukanlah sekadar ancaman belaka. Wanita itu selalu melakukan sesuai dengan perkataannya.

"Lunasi hutang kamu dan segera menikahlah dengan Saka." Henri menyandarkan punggung pada kursi. "Saya sudah menyuruh anak buah saya ke sini untuk membawa uang yang kamu inginkan," tambahnya menaruh ponsel di atas meja.

Rachel menundukkan kepala. Keputusan ini ia buat tanpa sepengetahuan neneknya. Namun, Rachel yakin jika apa yang ia pilih sekarang akan tetap mendapat dukungan dari sang nenek.

"Saka sudah beritahu tentang ini?" tanya Henri masih betah sekali tersenyum. "Kamu bertemu dia kan di kafe?"

"Saya bertemu dengan Pak Saka, tapi saya belum memberitahu tentang ini."

"Tidak apa-apa. Nanti saya yang akan memberitahu Saka. Terima kasih sudah menerima tawaran saya."

Demi melunasi hutang. Demi harta satu-satunya yang ia miliki. Demi neneknya agar hidup tetap nyaman, Rachel memilih jalan untuk hidup bersama seseorang yang ingin menikahinya karena warisan. Namun, Rachel tidak akan merasa sedih. Sebab, ia juga melakukan ini karena uang.

Impas bukan? Keduanya sama-sama untung. Seperti yang dikatakan Saka waktu itu.

"Rachel akan segera menikah sama kamu. Dia sudah setuju."

Apa yang dikatakan ayahnya melalui sambungan telepon membuat Saka seperti orang linglung. Entah berapa menit ia habiskan untuk memastikan jika yang ia dengar tidaklah salah.

Apa yang telah dilakukan ayah sampai membuat Rachel setuju?

Saka memijat pelipisnya pelan. "Apa tawaran yang diberikan sama Ayah lebih bagus?" tanyanya mencoba menebak-nebak.

"Lo kenapa sih?" Rangga menyenggol pelan lengan Saka. "Ada berita buruk?"

Saka menggeleng pelan. "Ayah kasih kabar kalau Rachel mau menikah sama gue."

Tepuk tangan yang keras diberikan oleh Rangga. Selanjutnya laki-laki berkaus putih itu tertawa hebat. "Lo serius?"

Saka memutar sedikit badannya menghadap ke arah Rangga. "Ayah nawarin apa sampai Rachel setuju jadi istri gue? Maksud gue, Rachel selalu keras kepala kalau sama gue. Dia selalu memberikan alasan setiap kali gue ajak menikah."

"Uang," jawab Rangga. "Apa lagi yang ditawarkan Om Henri kalau bukan uang? Tapi pasti ada hal lain yang membuat Rachel menerima tawaran itu."

"Uang? Gue juga selalu menawarkan uang sama dia. Hutang dia mau gue bayarin kalau dia setuju menikah sama gue, tapi dia selalu menolak." Saka meneguk sisa minuman di gelasnya sampai tandas. "Apa Rachel udah kepepet banget ya sampai nerima tawaran dari Ayah?"

"Nah, itu bisa jadi sih."

Senyuman samar tanpa disadari hadir di bibir Saka. Ia masih ingat jika tadi sebelum menutup kafe sempat berdebat perihal ayam warna-warni yang sudah dibeli oleh Rangga.

"Kata Mas Rangga harga ayam itu mahal banget." Rachel menggerutu sembari mengelap meja.

"Murah. Jangan percaya sama dia," elak Saka jelas saja berbohong. "Nanti saya ke rumah kamu. Saya mau makan mie soto."

"Abis."

"Kamu sekarang pelit sama saya?"

"Pak Saka setiap hari ke rumah saya loh. Mana setiap ke rumah makan mie mulu lagi," keluh Rachel mencoba mengingatkan. "Jangan makan mie terus. Gak sehat tahu kalau makan mie setiap hari tuh." Rachel membalikan badan dan menghadap Saka.

Saka menyentil pelan dahi Rachel. "Cie, perhatian banget."

Rachel melengos begitu saja. Menggeser kaki ke sebelah kanan, Rachel melewati Saka dan berjalan menuju belakang.

Seakan tidak pernah terjadi sesuatu, Rachel bersikap seperti biasa pada Saka.

"Tadi, Rachel sempat izin keluar karena kafe gak begitu rame. Apa dia izin mau ketemu sama Ayah, ya?"

Rangga mengangguk setuju. "Rachel pasti bilang semuanya sama Om Henri. Sekarang opsi lo ada dua; temui Rachel atau Om Henri. Minta dijelaskan semua yang telah terjadi."

Pilihan Saka jatuh pada Rachel.

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang