Kenyataan Sebenarnya

17 1 0
                                    

Saka tidak berbohong ketika mengatakan jika dirinya sering dibohongi oleh kedua orang tuanya. Jika diruntut dan harus ia ingat saru persatu, Saka sepertinya masih bisa menyebutkan kebohongan apa saja yang telah diterima olehnya.

Ayahnya yang mengatakan akan pulang malam karena ada rapat ternyata memilih mengadakan pesta ulang tahun Fajar di luar rumah bersama ibunya. Lalu ia ditinggalkan bersama asisten rumah tangga begitu saja. Kata ayahnya, perempuan yang selalu memoles bibirnya dengan gincu merah itu sangat menyayanginya. Saka percaya dan merasa senang sampai akhirnya ia sadar jika apa yang ayahnya katakan itu sebuah dusta belaka. Ibunya tidak pernah menatap dirinya dengan hangat, bahkan sampai ajal menjemput.

Saka juga masih ingat jika dirinya sering dijanjikan sebuah hadiah setiap kali ujian sekolah selesai dilaksanakan. Nilai baik dan nyaris sempurna selalu ia dapatkan, tapi ternyata yang mendapat hadiah justru Fajar.

"Nilai Fajar gak bagus kayak kamu. Jadi, Ayah sama Ibu kasih hadiah buat Fajar biar dia rajin belajar terus dapat nilai yang bagus seperti kamu." Saat itu ayahnya mengatakan alasan kenapa ia tidak kunjung mendapat hadiah. "Kamu gak apa-apa kan kalau hadiahnya Ayah kasih buat Fajar?"

Ah, Saka sungguh masih mengingat semuanya. Namun itu semua tidak menjadi masalah yang berarti. Saka akan sebisa mungkin melupakan semua janji dan kebohongan yang ia dapatkan meski sesekali merasa kesal.

"Kamu memang bukan anak kandung saya. Anak kandung saya cuma Fajar." Hari itu akhirnya datang. Hari di mana ia mendengar sebuah pengakuan, ah atau lebih tepatnya kenyataan yang menjadi alasan kenapa ia dibedakan. "Kamu anak haram. Ibu kamu selingkuh dengan suami saya dan meninggal saat melahirkan kamu."

Bahkan sepertinya Saka masih mengingat bagaimana ibunya mengatakan itu dengan berapi-api dan emosi yang meledak. Ibunya seperti menyimpan bom waktu dan meledak karena sudah tersimpan begitu lama.

"Kamu dan Ibu kamu sudah menghancurkan keluarga saya. Kehadiran kamu membuat Fajar tidak sepenuhnya merasakan kasih sayang dari ayahnya."

Saka remaja hanya diam sewaktu kalimat menyakitkan itu ditunjukan padanya. Ia tidak tahu harus membalas apa selain meminta maaf.

Kasih sayang seperti apa yang tidak Fajar rasakan? Kasih sayang sebanyak apa yang harus ayahnya berikan untuk Fajar? Sementara bagi Saka, seluruh kasih sayang ayahnya sudah tercurah untuk Fajar.

"Ayah minta maaf."

Tiga kalimat itu pernah Saka dengar ketika ia menanyakan di mana makam ibu kandungnya. Ternyata hari ini permintaan maaf kembali Saka dapatkan.

"Rachel udah tahu semuanya. Dia udah tahu kalau Ibu yang menabrak ayahnya. Dia juga udah tahu kalau Ayah nyuruh Bu Meta bohong soal hutang ibunya." Saka mengabaikan permintaan maaf itu dan memilih mengatakan apa yang selama ini ia simpan dalam hati. "Kata Ayah, Rachel itu baik, kan? Kalau Rachel baik, kenapa Ayah jahat sama Rachel?"

Henri jelas sekali terkejut mengetahui jika Rachel dan Saka sudah mengetahui semuanya. Sikap yang ditunjukan Rachel masih terlihat baik dan manis.

"Aku penasaran kenapa Ayah tega melakukan itu semua sama Rachel?"

"Ayah cuma mau tanggung jawab atas nama Ibu kamu. Ayah mau Rachel merasa hutang budi, setelah itu dia mau menikah sama kamu," jelas Henri terdengar putus asa. "Akhirnya Ayah bisa membuat hidup Rachel nyaman setelah menikah sama kamu."

"Gak gitu caranya, Ayah." Saka mengerang frustrasi. "Dan soal hutang itu, kenapa Ayah gak bilang langsung aja kalau hutangnya udah lunas? Kalau saja Ayah bilang secara jujur, Rachel pasti masih bersama Ibunya."

Suasana kali ini terasa begitu mencekam. Saka yang sudah terlalu emosi, dan Henri yang merasa dipojokkan.

"Ibu Rachel pergi bukan karena hutang. Ayah yang menyuruh Ibunya Rachel buat pergi."

Rahang Saka nyaris jatuh mendengar pengakuan barusan. Sebenarnya seberapa banyak kebohongan yang sudah disembunyikan ayahnya? Juga kenapa ia tidak pernah sadar jika selama ini hidup bersama seseorang yang sudah banyak berbohong.

"Dulu, Ayah datang dan menawarkan bantuan untuk melunasi hutang itu," ungkap Henri nyaris tidak terdengar. "Ayah melunasi semua hutang itu dengan syarat beliau harus pergi meninggalkan Rachel. Ayah juga berjanji akan membiayai seluruh pendidikan Rachel sampai jenjang paling tinggi. Ayah berjanji akan membuat hidup Rachel bahagia."

Sialnya itu hanya sekadar janji. Rachel tidak pernah bahagia. Saka menggeleng tak percaya dengan bualan yang ayahnya berikan. "Hidup Rachel jauh lebih bahagia sewaktu Ibunya masih ada. Ayah sadar gak sih kalau perbuatan Ayah udah buat hidup Rachel jauh menderita?"

"Ayah minta maaf. Ayah cuma mau akhirnya Rachel menikah dan hidup nyaman bersama kamu."

"Ayah tahu gak kalau cara bertanggung jawab seperti itu salah? Ayah kenapa gak jujur aja sih?" Saka pusing bukan kepalang mendengar kenyataan ini. Setelah ini, Saka semakin bingung akan seperti apa menjelaskan semuanya pada Rachel. "Terus sekarang Ibunya Rachel ada di mana?"

Henri menundukkan kepala. Kedua tangannya saling bertaut dengan perasaan bersalah yang begitu menumpuk. "Meninggal ... beberapa bulan yang lalu, beliau meninggal karena sakit. Ayah mengirim Ibunya Rachel ke luar negeri."

Kepala Saka rasanya mau pecah. Dadanya bergemuruh hebat mengetahui kenyataan jika orang yang selama ini coba ia temukan sudah tiada. Karena ibunya, Rachel kehilangan ayahnya, dan karena ayahnya, Rachel juga harus kehilangan ibunya. Bolehkah Saka menyalahkan orang tuanya? Jiak tidak diizinkan, apa ia harus menyalahkan takdir yang rasanya begitu jahat pada Rachel?

"Aku akan menjelaskan semuanya pada Rachel. Ayah jangan marah atau menyalahkan siapapun kalau setelah ini Rachel memilih pergi." Saka memilih realistis. Rasanya tidak mungkin Rachel akan tetap bersama dirinya setelah mengetahui semua yang terjadi. "Aku akan berusaha sebisa aku untuk menahan Rachel, tapi kalai dia memaksa pergi, aku gak akan melarangnya."

"Kamu jangan sampai berpisah sama Rachel. Ayah minta tolong sama kamu. Pertahankan hubungan kamu sama Rachel."

"Menurut Ayah, Rachel masih mau gak bertahan sama anak dari orang yang udah membuat keluarganya berantakan?" tanya Saka sembari tersenyum tipis. Ia menarik pelan tangan ayahnya untuk dicium. "Aku pulang dulu." Setelah mengatakan itu, Saka pergi tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Mengabaikan ayahnya yang memanggil seraya menjelaskan lebih lanjut apa yang terjadi pada ibunya Rachel.

Sepanjang perjalanan, Saka merasakan kalau kepalanya begitu berisik. Memikirkan berbagai cara untuk menjelaskan dan kemungkinan terbesar yang akan terjadi setelah Rachel mengetahui jika ibunya sudah meninggal. Satu hal yang sejak tadi ada dalam benaknya. Tangisan pilu dan tatapan sendu Rachel. Membayangkannya saja sudah membuat hatinya sakit, apalagi jika nanti hal itu benar terjadi.

Sebuah senyuman hangat dan manis menyambut kedatangan Saka. Kedua tangan Rachel terbentang seakan menunggu kedatangan Saka untuk memeluknya. Hati perempuan itu sedang bahagia. Saka semakin tidak tega menyampaikan berita menyakitkan yang dibawanya sekarang.

Alih-alih memeluk Rachel yang sedang duduk di sofa, Saka justru menekuk kedua lututnya di atas lantai. Tangannya meraih tanga Rachel untuk ia genggam. Semua pergerakannya membuat Rachel kebingungan.

"Kamu kenapa?" tanya Rachel panik. "Hei, aku ada salah kah? Kenapa kamu malah duduk di bawah kayak gini? Bangun dulu, jangan duduk di bawah." Rachel mencoba membawa Saka agar duduk di sebelahnya.

"Aku minta maaf." Saka masih bertahan di posisi yang sama.

"Minta maaf kenapa? Semalam kan kita udah baikan. Kenapa minta maaf lagi?"

"Ibu meninggal," ungkap Saka pelan.

Rachel mengusap rambut tebal milik Saka begitu lembut. "Aku tahu. Kamu kan udah cerita waktu itu."

Dalam pangkuan Rachel, Saka menggelengkan kepala. "Bukan Ibu aku, tapi Ibu kamu. Ibu kamu meninggal, Chel."

Seketika gerakan tangan Rachel berhenti. Matanya bertemu dengan Saka yang ternyata saat ini mendongak ke arahnya. "Maksud kamu Ibu aku yang meninggal? Kamu gak lagi bercanda, kan?"

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang