Out of control

8.6K 662 2
                                    

Waktu pulang kantor pun tiba. Aku membereskan barangku ketika melihat sela menutup laptopnya dan merapikan berkas-berkas yang ia kerjakan. Ia berjalan ke arahku yang duduk di sofa.

"Bagaimana dengan tawaranku?" Tanya sela sembari duduk di depanku. Aku mengerjap, mencoba mencerna pertanyaannya.

"Tentang jadi pacarku.." lanjut sela. Aku terbatuk dan duduk dengan tegap.

"Kamu gak salah minta aku jadi pacar kamu?"

"Hitungan gajinya berbeda dari perjanjian, hitung-hitung ini tambahan buat kamu"

"Maksud kamu?"

"Aku bayar kamu buat jadi pacar aku"

"Ha?"

"Kamu gak dengar waktu itu papa bilang apa?, aku gak perlu kencan dengan para pria itu kalau aku sudah punya pacar"

"Lalu aku?"

"Ya, kamu akan berpura-pura jadi pacarku, dan itu gak akan gratis"

"Kamu gila?" Tanyaku dengan nada sedikit keras. Aku melihat keterkejutan di wajah sela. Tentu saja aku tak terima dengan apa yang ia jelaskan barusan.

"Aku waras una. Kamu akan punya banyak keuntungan dari tawaranku ini. Gaji kamu jadi 3x lipat. Kamu bisa bersikap lebih dari asisten padaku, dan kamu akan bangga punya pacar sepertiku" ucap sela semakin gak masuk akal. Aku berdiri, berputar-putar di depannya.

"Ini rencana gila , lagi pula kenapa kamu menawarkan ini padaku?, kamu bisa menyewa seorang pria di luaran sana, bayar mereka semau kamu"

"Aku gak suka pria"

"Ha?"

"Aku gak suka pria, kamu ngerti?" Sela melipat kedua tangannya di depan dada. Ia tidak menyukai pria?, dia menyukai wanita?.

"Terserah, yang jelas aku gak mau jadi pacar bohongan kamu. Kamu cari saja di luaran sana orang yang mau berpura-pura seperti itu, yang jelas bukan aku"

"Hei una" sela menarik tanganku ketika aku ingin segera pergi darinya. Aku ingin segera pulang, jam kantor juga sudah selesai dari tadi. Aku berbalik menatap sela, ia menatapku tajam, namun kali ini aku tak takut dengan tatapannya itu, sela gak bisa maksain kehendaknya begitu saja.

"Apa kamu melihatku gampangan?, kamu bisa menawarku semaumu dengan dalih uang"

Aku marah. Aku kesal karena sela bilang ia tidak akan melakukan hal aneh padaku. Ia mengatakan itu saat kami membuat perjanjian kan?, apa rencana ini juga termasuk ke dalam perjanjiannya?.

Genggaman tangan sela melemah dan lepas. Ia kembali duduk dan mengalihkan wajahnya dariku. Melihat itu rasa marahku mereda, tapi aku masih tak terima hal ini.

"Aku pulang" ucapku pamit, sela tak menjawab. Aku pun tetap pergi dari ruangan ini.

Lagi, aku gelisah saat hendak tidur. Aku memikirkan sela, apa ia langsung pulang sore itu?, ia tak mengirimiku pesan. Apa aku terlalu keras padanya?, apa aku kurang ajar sebagai bawahan?, tapi sela sendiri yang buat aku bersikap begitu, dia meremehkanku kan?, aku bekerja dengannya karena uang, tapi bukan berarti dia bisa melakukan semaunya padaku.

Paginya aku berangkat seperti biasa. Aku mengantar tiva ke halte, kami jalan beriringan dengan berpegangan tangan.

"Kakak sekarang punya kerjaan bagus ya?" Tanya tiva, aku tersenyum lebar menjawab pertanyaannya. Tiva pasti menyadari penampilanku yang berbeda dari sebelumnya, saat aku bekerja mengantar susu, di toko bunga dan minimart.

"Kakak semangat ya kerjanya"

"Kamu juga semangat sekolahnya" ucapku membelai rambut tiva. Adikku pun pergi ke sekolah dengan busnya. Aku pun menunggu taxi disana dan segera ke kantor.

Yes, She is my GirlfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang