Find out about her

8.6K 773 25
                                    

Aku kembali bekerja seperti biasa, mengantar susu di pagi hari lalu ke toko bunga. Aku belum lanjut memikirkan tawaran dari wanita itu. Mengingat isi perjanjiannya saja sudah membuatku takut.

Hari ini adalah hari terakhir kami dirumah ini. Rumah yang sedari kecil aku tempati. Banyak kenangan baik dan buruk yang akan kami tinggalkan. Ibu banyak membantuku merapikan barang-barang di kamarku. Aku hanya sesekali membantu, itu pun saat malam hari sepulang kerja. Syukurnya walau sendiri, ibu bisa membereskan semua barang kami tepat waktu.

Malam ini Aku pulang membawa sekotak pizza dan minuman soda. Kami berjanji akan makan bersama sebelum tidur. Kami melakukan ini sebagai bentuk perpisahan pada rumah kami. Tiva baru saja bangun ketika aku sampai, ibu menyambutku dengan senyum hangat.

"Kamu sudah tidur?" Tanyaku ketika tiva menguap mengucek matanya

"Iya, aku ngantuk nungguin kakak pulang"

"Maaf ya, kakak beli pizzanya dulu tadi pulang kerja" ucapku meletak sekotak pizza di antara kami. Mata tiva berbinar, ia segera melahap pizza itu. Kami pun makan dengan senang, jarang sekali kami makan makanan seperti ini. Tak ada air mata atau kemurungan malam ini, kami hanya berbicara dan sesekali tertawa.

Usai Makan tiva dan ibu kembali ke kamar. Aku juga masuk ke kamarku. Usai mandi aku berbaring di kasurku, mataku menelusuri kamar yang terasa kosong. Kenanganku di kamar ini pun berputar seperti film. Bagaimana aku menangis sendirian disini, berlajar, bernyanyi dan berjoget seperti orang gila. Aku tertawa mengingat semuanya, tapi setitik air mata ikut jatuh di sudut mataku.

Keesokan harinya aku bangun dan membantu ibu mengangkati barang ke mobil yang berasa di ujung gang. Dua orang pria sang supir dan temannya juga membantu kami memindahkan barang ke dalam bak mobilnya.

"Kak, apakah rumah kita jauh dari sekolah?" Tanya tiva saat kami di taxi dalam perjalanan ke rumah baru.

"Hmm, tidak. Kita pindah tidak jauh dari rumah ini" jelasku. Kami hanya pindah berjarak 1 km. Aku menemukan rumah sepetak yang harganya sesuai dengan kemampuanku. Walau lebih kecil, rumah ini cukup untuk kami bertiga. Barang kami pun sudah kembali masuk ke rumah baru. Aku berkacak pinggang memperhatikan tunpukan barang di ruang tengah.

"Kak kamarnya cuma satu?" Tanya tiva di balik pintu kamar. Aku menghela napas pelan.

"Tiva, sekarang kakak cuma bisa sewa rumah satu kamar. Gak apa kan?" Ujarku membelai rambutnya.

"Lalu?, kita tidur bertiga?" Tanyanya lagi, aku mengangguk.

"Asik" seru Tiva. Aku tersenyum tipis memihat tiva yang modar mandir melihat rumah ini. Aku menoleh ke ibu yang menyentuh bahuku.

"Ayo kita rapihin barangnya!" Ucap ibu sembari menepuk pelan bahuku. Aku tahu ibu sedang menguatkan dan menghiburku. Aku berputar melihat langit langit rumah. Rumah ini ukurannya jauh lebih kecil dari rumah sebelumnya. Kamar mereka juga hanya satu. Tapi tinggal di rumah ini jauh lebih baik dibanding harus berurusan dengan masalah.

Aku duduk di depan kipas angin yang menyala, keringat membasahi tubuhku. Barang-barang kami sudah rapi, aku pun berisitirahat menghilangkan lelah.

"Minum dulu!" Ibu meletakkan nampan di dekatku. Aku meraih gelas berisi sirup dingin dan memakan kuenya.

"Na, ibu rencana cari kerja"

"Ha?, untuk apa bu?"

"Ibu mau bantu kamu"

"Gak perlu bu, ibu dirumah saja seperti biasa"

"Tapi Na"

"Kalau una bilang gak, ya gak bu. Ibu gak boleh kerja, aku gak mau ibu sakit lagi" ucapku, ibu pun tak lanjut bicara. Aku menatap lurus ke depan, ibu tak perlu membantuku, ibu tak perlu mengasihaniku, aku bukan anak pertama yang lemah.

Yes, She is my GirlfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang