Blind date

7.9K 910 26
                                    

Sela tidak pergi ke kantor hari ini. Aku sendirian di ruangan, ayla bilang sela mengosongkan jadwalnya hari ini. Tapi kenapa ia tak memberitahuku, aku sudah tiba dikantor lebih awal seperti biasa.

"Apa bos tak memberi tahumu?" Tanya Ayla, aku menggeleng lemah.

"Aneh, harusnya kamu lebih dulu tahu?" Sahut sela lagi, aku terdiam. Benar, sebagai asisten pribadinya harusnya aku lebih dulu tahu. Aku sedih sekaligus kecewa, aku pun duduk termenung sendirian di ruangan kosong ini. Kemarin aku juga sendirian disini menunggu sela pulang, ia sama sekali tak mengabariku. Apa ia marah padaku?, tapi aku juga punya hak marah dan menolak kemauannya kan?. Huft.

Aku kembali menghubungi tedy, karena menelpon sela akan sia-sia. Untungnya tedy mengangkat telponku kali ini.

"Maaf una, kemarin aku sibuk. Kamu ada perlu apa?"

"Apa bos bersama kamu?"

"Ya, bos masih dirumah"

"Apa dia tidak bekerja hari ini?" Tanyaku lagi, aku mendengar helaan napas tedy.

"Ini kacau una, bos sedang tidak mood. Seharusnya aku tak boleh memberi tahu ini ke siapapun. Tapi aku rasa tak apa memberitahu kamu, agar kamu tidak perlu khawatir. Lebih baik kamu pulang dan tak ke kantor, bos tidak akan ke kantor untuk sementara waktu sampai benar-benar membaik"

"Kenapa?, apa dia sakit?"

"Bukan, emosi bos sedang tak stabil. Kamu tahu kan bos harus pergi kencan, bersikap manis kepada para pria yang diberi tahu keluarganya?"

"Ya, aku tahu"

"Bos harus berkencan dengan dua bahkan tiga pria dalam sehari, melihatnya saja sudah melelahkan" seru tedy

"Ah sudah dulu una, kita mau berangkat" tedy langsung mengakhiri telpon.

Dia pergi kencan buta dengan para pria itu?, ntah kenapa aku merasa sedih mendengar cerita tedy. Terbayang bagaimana sela harus bersikap manis meladeni para pria teman bisnis keluarganya itu. Sela yang sehari-hari jarang senyum harus menunjukkan sisi manisnya dengan mereka.

Hari ini aku pulang ke rumah sesuai jam pulang kantor, walau tedy memintaku pulang saja. Aku berjalan gontai menuju meja makan yang kosong.

"Kamu kenapa?, capek?, ibu buatin teh ya" ucap ibu, aku mengangguk. Aku tak melakukan apapun di kantor, tapi tubuhku rasanya tak bertenaga. Setelah menghabiskan teh buatan ibu, aku mandi dan berbaring di kamar.

"Tiva, sini sama ibu. Jangan ganggu kakak" ucap ibu memanngil tiva yang hendak berbaring di sampingku. Aku tersenyum tipis, berterima kasih ke ibu yang mengerti aku.

"Kamu baik-baik aja kan?" Aku mengirim pesan ke sela. Walau aku tahu sela tak akan membalas, tak apa. Aku ingin dia tahu aku mengkhawatirkannya.

Esoknya aku masuk kantor seperti biasa walau tak ada yang ku kerjakan, aku bersama ayla. Membantu beberapa pekerjaannya yang bisa ku kerjakan. Tiba-tiba ayla berdiri dan aku tersentak melihat sela muncul.

"Aku hanya sebentar" ucap sela. Kepalaku berputar mengikuti sela yang masuk ke ruangan. Ayla menyenggol bahuku dan mengkodeku agar mengikuti sela, aku pun bergegas masuk.

Aku berdiri tak jauh darinya, sela mengambil beberapa hal dari laci mejanya, aku menunggunya selesai dengan urusannya. Sela berjalan melewatiku, ia tak melihatku sama sekali.

"Bagaimana kencanmu?" Tanyaku, ah aku mengutuk diriku. Kenapa pertanyaan itu yang keluar, kenapa una?.

"Lebih baik kamu pulang, gak ada yang bisa kamu kerjakan hari ini" ucap sela, aku merenung mendengar jawaban sela.

Yes, She is my GirlfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang