Done

4.1K 439 20
                                    

Aku tidak bisa berlarut dengan kesedihan. Banyak hal yang harus aku kerjakan. Aku harus menyelesaikan apa yang sudah aku mulai. Proyekku dengan clara berjalan dengan baik. Hubunganku dengan clara juga hanya sebatas rekan bisnis, aku teguh dengan kata-kataku, aku tidak pernah tertarik dengan clara. Walau sesekali clara masih berusaha mendekatiku, aku bersikap biasa padanya.

Bagaimana dengan papa?

Perang kami sudah dimulai. Aku tidak takut jika harus memulai dari awal lagi. Pagi, siang, malam aku sibuk bekerja. Pada akhirnya aku tidak bisa menjaga keduanya, una dan perusahaan seperti yang aku impikan. Mungkin aku terlalu angkuh mengatakan pada una bahwa aku bisa menjaganya. Mungkin aku terlalu menganggap enteng kuasa papa. Mungkin aku terlalu percaya bahwa cinta akan menemukan jalannya.

Air mataku selalu jatuh tiap aku mengingat una. Aku tidak punya foto apapun yang terpajang di ruangan kerja, rumah ataupun kamarku. Tapi kini, aku punya satu foto yang terpajang di meja kerjaku, foto cantik una yang tersenyum ke arahku. Senyum cantiknya membuatku berpikir aku harus tetap hidup, jika tidak untuknya setidaknya aku hidup untuk orang yang masih membutuhkanku.

Shani datang menemuiku, ia sedang mengerjakan pembukaan butik barunya di toko itu. Ia juga berjanji padaku tak akan menyerahkan saham miliknya pada papa apapun yang papa katakan.

"Aku akan dukung kamu, untuk pertama kalinya aku ingin berguna sebagai kakak untukmu" ujar shani ketika aku memenuhi permintaannya untuk meninjau toko miliknya. Bukan hanya shani, mama shani juga mendukungku.

Hari ini selesai meeting aku merasa tubuhku lelah sekali.

"Ayla, aku akan istirahat sampai jam pulang. Aku tidak mau ada yang mengangguku!" Pesanku pada ayla sebelum kembali ke ruangan. Aku mematikan cahaya di ruangan, dan berbaring di sofa menutup wajah dengan lenganku. Tak lupa aku menyalakan musik yang menenangkan.

Tok... Tok...

Aku menghela napas panjang, menurunkan tangan dari wajahku.

"Maaf bos, ada anak-anak yang mau bertemu bos. Saya sudah bilang bos gak bisa di ganggu, tapi adik ini bilang dia adiknya una"

Aku terperanjat dengan cepat bangkit dari sofa.

"Masuk saja" balasku, ku nyalakan kembali lampu di ruanganku. Aku melempar senyumku pada tiva yang masuk masih menggunakan pakaian sekolahnya.

"Duduk sini!" Ajakku, aku menatapnya yang tampak gugup.

"Kamu sendiri?" Tanyaku

"Iya kak"

"Kamu baru pulang sekolah?"

"Iya kak"

"Ibu tahu kamu kesini?"

Tiva menggeleng. Ia mengambil sesuatu dari tasnya dan meletakkan di tanganku. Sebuah foto pria ada disana.

"Siapa ini?"

"Ini Ayahku, papa kakak janji kalau ayah tak akan mengganggu kami lagi kalau kami pergi jauh"

"Kamu dengar ini?" Tanyaku kaget, anak sekecil tiva mendengar obrolan prang dewasa.

"Hmm, aku benci ayah. Kekuarga Kakak punya uang banyak kan?, kakak bisa pastikan ayah gak akan kembali kan?, aku capek kak harus pindah rumah, pindah sekolah. Aku benci ayah datang cuma buat pukulin ibu, ambil semua yang kita punya" Tiva bercerita sembari menghapus air matanya.

"Aku harus keluar les, padahal aku suka sekolah disana, bagaimana dengan lesku kak?, aku gak bisa protes ke siapapun. Ibu, kak una. Mereka juga udah berjuang keras"

Ucapan tiva buat aku syok dan sakit bersamaan. Aku memandangi foto pria ini. Pria yang sangat jarang diceritakan oleh una.

"Kamu jangan khawatir, kakak akan pastiin kalau kalian akan baik-baik aja, ini terakhir kalinya dia mengunjungi kalian"

"Kakak janji??"

"Hmm, janji" aku meraih tiva memeluknya. Bagaimana seorang ayah tega menyakiti putrinya sendiri.

"Dan tentang sekolah dan les kamu, kakak akan memikirkan itu juga. Kakak akan membantumu wujudin impian kamu" ucapku mempererat pelukanku. Aku menyayangi keluarga una, aku menganggap mereka sebagai keluargaku, mereka memperlakukanku dengan hangat, maka aku akan membalas dengan cara yang sama.

*****

Aku memenuhi janjiku.

Ayah una terbukti bersalah dan aku diam-diam membuatnya mendekap di jeruji besi dengan pasal berlapis. Aku menyewa pengacara handal untuk itu, aku tak masalah mengeluarkan uang sangat banyak untuk itu.

Sebelum pria ini pergi, aku menemuinya.

"Apakah menyakiti keluargamu menjadi kesenangan untukmu?" Tanyaku saat pertama kali berbicara padanya, pria itu hanya diam menatapku, melihat wajahnya yang babak belur membuatku merasa puas.

"Aku akan membuatmu menyesali perbuatanmu seumur hidup. Aku tak peduli walaupun kamu orang tua dari orang yang kucintai, selama kamu menyakiti mereka, kamu akan menerima balasan yang lebih sakit dariku!"

Aku pergi setelah mengatakan itu. Hari itu pertama dan terakhir kalinya aku berbicara dengannya.

Janjiku dengan tiva?, aku juga melakukannya.

Aku memberikan tiva beasiswa penuh melalui sekolahnya, agar tiva tetap bisa bersekolah dan les piano di sekolah yang ia senangi tanpa memikirkan biaya, dan agar ibu seta una tak mencurigaiku dan menolakku membantu tiva.

Setelah memastikan mereka baik-baik saja aku lebih tenang. Aku tak akan terus merasa bersalah pada mereka.

Hubungan dengan tiva lancar tanpa tahu una dan ibu, aku mendukungnya dari segala hal. Sesekali Aku menanyakan keadaan ibu dan una, ibu mulai bekerja bersama ibu-ibu di desa. Hal yang paling menyakitkan adalah ketika tiva menceritakan tentnag una. Ia banyak nangis, sampai sekarang tiva masih lihat kakak nangis ketika sendirian. Tiap memikirkan itu hatiku sakit, sesulit ini berpisah saat saling mencintai, dipaksa berpisah walau kami masih saling membutuhkan, rasa rindu membuncah namun tak terbalas.

Tiva mengirimku pesan bahwa ia akan tampil dengan band sekolahnya. Aku tentu saja meluangkan waktu untuknya. Aku datang dan memilih duduk jauh dari una dan ibu. Aku sempat memperhatikan una sebelum pandanganku tertutup oleh orang-orang yang berdatangan.

Melihat una yang tersenyum berbicara dengan ibu, dadaku rasanya sesak. Aku belum bisa melupakan una, bukan. Aku bahkan gak pernah sedetikpun tidak mengingatnya. Senyum itu, senyum yang sangat aku rindukan.

Aku tak bisa terlalu lama di dalam aula ini. Setelah melihat tiva tampil, aku buru-buru keluar. Aku sempat memfoto tiva tampil, aku mengirim foto pada tiva bahwa aku telah datang mendukungnya. Aku juga mngirimkan bunga ucapan selamat padanya, tiva mengirimku foto dirinya yang berfoto disana.

"Kakak dimana?, mau bertemu ibu dan kak una?" Isi pesan tiva, aku membaca pesan ini berulang-ulang dalam perjalanan pulang.

"Lain waktu, gak sekarang tiva. Sekali lagi selamat, kakak menantikan konser solo kamu. Semangat!" Balasku. Aku menatap keluar jendela,  menarik napas dalam dan menggigiti ujung kukuku. Perlahan mataku terasa panas, tidak. Jangan menangis sela, kamu sudah melakukan yang terbaik sejauh ini, kamu sudah bertahan tanpa una, kamu harus bisa bertahan lebih lama lagi. Walau tak tahu sampai mana batas pertahanan ini, aku masih percaya Cintaku gak salah, hanya aku yang salah, salahku tak bisa menjaga sumber kebahagiaanku.

Sayang, aku rindu memanggilmu dengan manja. Bergelayut dan memelukmu erat, menciumimu sampai aku puas, menggenggam erat tanganmu dan membelai rambutmu.

Sebesar apa keinginanku untuk kembali bersamamu, tak berarti jika hanya aku yang ingin.

Apakah tak ada kesempatan lagi untuk kita?, apakah akhirnya cinta kita kalah?

POV SELA TERAKHIR..
Satu ch sebelum tidur,
Update sekali lg aku langsung selesain kisah mereka ya 🙏🏻
Mohon bersabar

Yes, She is my GirlfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang