19 | Usiran Halus

168 110 7
                                    

"VANILA late-nya satu, Bude."

"Pagi-pagi nggak mau minum yang anget-anget aja, Neng?"

Rea menggeleng ramah. Tali ranselnya yang dirangkul satu pundak ditarik, sementara tangan lain merogoh uang di dalam saku lalu ditaruh atas konter. Bersamaan saat Rea hendak mengambil minumannya, siluet yang sangat dia kenali datang.

"Bude, vanila late satu," pesan Nata yang lalu diangguki Bude Sumik, tanpa melirik seorang gadis yang kini melempar tatapan canggung ke arahnya karena teringat kejadian kemarin.

"Nat."

Yang dipanggil membelakangi konter sambil memainkan ponsel. Rea terus melanjutkan, "Soal kemarin itu... gue minta maaf, oke? Gue cuma pengen seru-seruan aja...."

Yang diajak Rea bicara justru menempelkan ponselnya ke telinga sebelah sambil berpura-pura jalan dua langkah menghubungi temannya. Rea diabaikan begitu saja.

"Lagi di perjalanan? Ohhh, oke, oke. Iya, ini gue berangkat lebih awal. Yoi, gue tunggu. Buruan." Ponsel itu kembali dimasukan ke dalam saku celana bersamaan dengan minuman yang siap saji di atas konter. "Ini, uangnya, Budeeee. Makasihhhh!"

Rea yang masih mematung dengan mulut ternganga masih tidak percaya dirinya diabaikan begitu saja, sontak mengejar langkah Nata. Apa ini namanya impas? Seorang Rea diginiin? "Woi, Nata, tungguuuu! Gue lagi ngomong sama lo! Ck."

Begitu mendengar namanya disebut dua kali, si laki-laki akhirnya menghentikan langkah. Sebenarnya baru lima langkah dari stan Bude Sumik. Dia akhirnya berbalik sambil menyeruput minumannya santai.

Alis sebelahnya terangkat. "Lo ngomong sama gue?"

Rea mendekat dengan sebelah tali ransel ditarik kesal sementara tangan lain masih membawa minuman. Kini melempar tatapan juteknya di hadapan Nata. "Ya gue ngomong sama siapa lagi? Bokap lo? Dari tadi gue ngomong sama lo, manggil-manggil lo, dan lo malah asyik main handphone? Nggak ngehargain banget, sih, lo? Pura-pura budeg apa gimana?"

Nata berpura-pura batuk sebelum menstabilkan diri dengan gelagat kelewat santai seperti biasa. "Oke. Nih, udah." Cowok itu mendekatkan wajahnya lima senti di depan wajah Rea. "Lo tadi mau ngomong apa?"

Rea sontak memundurkan langkah, tidak ingin dekat-dekat. "Gue tuh mau minta maaf sama lo soal kemaren, budeg," ulang Rea memperjelas sekali lagi dengan nada pelan, namun terdengar tidak ikhlas.

Senyum Nata melebar. "Ohhh, mau minta maaf...? Kok minta maafnya kayak... ngajakin ribut gitu, sih?"

"Ya, terus? Gue harus dengan cara apa? Harus bertekuk lutut, gitu?"

"Ya kalo itu perlu, sih, haruslah. Silakan."

Rea menahan emosi. "Katanya lo tipe cowok yang suka maafin kesalahan orang lain dan lebih suka ngajuin maaf duluan kalo ngelakuin kesalahan kecil? Padaaahal..." Dia bergidik geli sambil menarik kursi, duduk di sebelah satu meja dekatnya. "...dih, amit-amit." Lalu menyeruput minumannya guna meredakan emosi.

Sekarang gadis itu sudah merubah pikirannya, terserah Nata kalau dia mau pergi, Rea rela lahir batin. Karena pasti perdebatan konyol mereka tidak akan pernah habis sampai besok kalau dilanjutkan. Keadaan di kantin tidak terlalu ramai karena mereka datang masih terlalu awal.

Nata masih setia dengan senyumnya. Herannya, cowok itu justru keliatan makin tampan walaupun luka berantem kemarin masih meninggalkan bekas-pikir bodoh Rea. "Ooohh, jadi selama ini.... lo sama temen-temen lo suka ngomongin gue?"

Mampus, Rea lagi-lagi asal ceplos. Apalagi mendengar nada godaan Nata yang begitu menyebalkan membuat gadis itu rasanya ingin kubur diri saja. Baru saat Rea membuka mulut hendak beralasan, bunyi deru motor dan kehebohan seisi kantin yang tiba-tiba, menarik perhatian keduanya.

NATAREL✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang