"RE, Re, Re," panggil Mike. "Wait."
Yang di panggil baru saja keluar toilet itu menghentikan langkahnya, berbalik sedikit, melihat sepupu laki-lakinya membawa tumpukan buku tulis berlari terbirit-birit ke arahnya. Alis sebelah Rea terangkat begitu Mike berhenti di sebelahnya, menyerahkan tumpukan buku itu, katanya titipan dari Pak Andre.
"Kok bisa ada di elo?"
"Kebetulan, kan, ntar gue lewat kelas lo? Sekalian, deh, mumpung ada elo di sini. Kan, gue rajin bolak-balik kantor ngumpulin tugas," kekeh Mike, sedikit sombong di kalimat terakhirnya sambil membetulkan letak kacamatanya.
Mata Rea diputar malas. Keduanya beriringan menuju kelas masing-masing melewati lorong yang hanya dilalui beberapa anak saja karena pelajaran terakhir belum berakhir. Tepat saat keduanya berpisah, begitu Rea melewati pintu kelasnya, bel pulang akhirnya berbunyi. Gadis itu meneruskan langkah membagikan buku ke anak-anak kelasnya yang sedang beres-beres.
Decitan-decitan meja dan kursi, suara-suara ritsleting, dan obrolan-obrolan ringan terdengar mendominasi suasana pulang sekolah. Sebagian sudah ada yang sudah melipir keluar hingga Rea memasukkan buku sang empunya di dalam laci, malas mengejar. Ada juga yang masih bertahan di dalam.
"Eh, Rea. Kok buku gue yang ini, sih?" heran Leo, meski Rea tidak menoleh karena sibuk membagi-bagi buku.
"Ya terus yang mana, nih? Gue males liat nama soalnya."
"Punya gue gambar kucing gosong itu, woi. Ini mah punyanya si Zaky." Leo memasukkan buku itu ke dalam laci Zaky yang penghuninya sudah keluar.
"Woi, Le, ini kucing gosong punya lo, kan?"
"Wahhh, gimana, sih, lo, Re?"
"Cari sendiri-sendiri aja sana, ah. Pusing gue," gerutunya, menyerah sambil hendak menaruh tumpukan buku yang belum selesai di bagi di salah satu meja, tapi Cia buru-buru mengambil tumpukan buku di tangan Rea, peka.
"Sini, biar gue bantu."
Akhirnya Rea kembali ke meja, sibuk mengemas barang-barang dan memasukkannya ke dalam tas, setidaknya sampai panggilan Cia beberapa detik berikutnya membuatnya menoleh.
"Andrea, lo udah ditungguin seseorang."
Kepala Rea langsung diputar ke arah pintu mengikuti kedikan dagu Cia. Sudah ada seseorang yang menunggu dengan kedua lengan dilipat di depan dada. Kini sebagian ujung kemejanya dimasukan ke celana meski tetap tidak serapi seharusnya, lalu tas yang dirangkul sebelah pundak, dan gelagat santai seperti biasa.
Rea mendekat setelah selesai mengemasi buku dan merangkul tasnya di satu pundak. "Apa?"
"Pulang bareng gue."
Satu tarikan alis. "Nggak salah, nih? Gue mau nyari makan di luar."
Kepala Nata bergidik ke belakang, lalu lengan kanan kekarnya merangkul bahu Rea dan menggiringnya paksa. "Ayo bareng."
Otomatis Rea menepisnya gemas. "Nggak. Apa-apaan, sih, lo?!"
"Gue juga mau cari makan, salah?"
"Dan gue nggak mau bareng lo. Puas?"
"Naik motor gue."
"Gue juga bawa motor."
"Bareng gue, atau gue gendong?"
Tatapan tajam keduanya beradu untuk ke sekian kali selama beberapa detik.
"Lepas, atau gue banting?" desis Rea tajam, dan penuh penekanan.
Sontak Nata melepasnya. "Bareng gue, kan?"
Rea menarik kerah jaket dan tali ranselnya yang sempat melorot dalam satu gerakan dengan tatapan tajam yang setia mengarah tepat ke mata coklat gelap milik Nata yang entah sejak kapan makin dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...