"TAKUT lo?"
"Kagak, lah. Ini, kan, bisa dibilang berbagi. Berbagi itu indah. Bisa dapat pahala. Itung-itung cicilan pahala surga."
"Yeee, sok yes lu. Digigit nyamuk satu aja gegerin satu kota."
Terdengar suara tawa beberapa anak. Semua orang sibuk berlalu lalang, terdengar obrolan-obrolan ringan dan bising yang hanya samar-samar di telinga Rea. Rea tidak takut jarum suntik, tapi dia lebih takut dengan kejadian kemarin.
Hari ini SMA Abipraya kedatangan para Suster dan Dokter dari rumah sakit yang akan mengambil darah para murid untuk didonorkan ke pasien yang lebih membutuhkan dalam rangka bakti sosial. Tentu saja, pasti ada murid yang bergidik ngeri dan berakhir melarikan diri, ada juga yang terlihat santai-santai saja seolah itu hanya hal kecil.
"Rea!"
Rea mengalihkan pandang, sadar itu suara siapa.
Yang memanggil menghentikan langkah, melihat gadis yang dipanggil justru melarikan diri. Nata bingung karena di kelas tadi saat dirinya meletakkan ransel di kursi, Rea langsung keluar kelas lebih dulu dengan raut yang disembunyikan. Terlihat sekali kalau Rea menghindarinya.
Sebenarnya, apa kesalahan Nata? Padahal dia ingin menanyakan perihal kenapa kemarin gadis itu tidak ada di sampingnya waktu dirinya tersadar dari pingsan.
Kegiatan donor darah itu akhirnya berlangsung. Berlangsung selama satu jam yang dilaksanakan di aula luas dengan antrian panjang yang acak diisi oleh para murid kelas 10-12 sesuai kelasnya masing-masing. Rea berusaha menjaga jarak dari Nata di belakang yang hanya berjarak dua murid.
Setelah kegiatan selesai, Nata berusaha mengejar Rea yang bergegas menuju kelas dengan melewati koridor yang lumayan sepi.
Beberapa murid dipersilakan memasuki kelasnya masing-masing oleh guru setelah ada insiden yang pingsan karena efek jarum suntik, ada yang kabur untuk bolos, ada juga yang dikejar-kejar guru sampai luar sekolah, dan masih banyak lagi berbagai drama yang membuat murid yang biasa-biasa saja geleng-geleng kepala.
Langkah cepatnya telat direm hingga dahinya menabrak dada bidang seseorang yang secepat kilat sudah berada di depannya. Netra keduanya bertemu. Nafas Rea memburu, seolah orang di depannya adalah hantu.
"Kenapa lari-lari?" tanya Nata dingin. "Lo kira gue hantu?"
Dengan ekspresi cemasnya, Rea membalas, "Sebaiknya lo jangan deket-deket gue lagi, deh. Nanti lo kebawa sial melulu," ucapnya to the point.
Nata terkejut. "Kata siapa? Siapa yang bilang kayak gitu sama lo? Jacky, Farel, apa Gavin?"
"Gue ngerasa bersalah, tahu nggak? Kenapa kemaren lo nggak ngasih tahu gue, sih, kalo lo phobia? Lo tahu nggak? Kalo lo ngasih tahu dari awal, gue nggak mungkin nantangin lo. Ke mana, sih, otak lo yang kata orang-orang cerdas itu? Lo nggak mikirin nyawa lo-"
"Lo nggak salah," potong Nata. Kedua tangan kekar cowok itu menarik kedua lengan Rea ke dalam dekapannya hingga membuat Rea menghentikan nafasnya sejenak begitu dahinya lagi-lagi menabrak dada Nata. "Lo sama sekali nggak salah," ulang Nata.
Demi apapun Rea kesulitan bernafas karena ucapan Nata yang tiba-tiba terdengar sangat lembut di telinganya. Rea bingung apakah harus membalas pelukannya?
"Maafin gue. Gue kemaren bikin lo cemas karena temen-temen gue," lanjut Nata.
"Maafin gue juga udah bikin lo pingsan," balas Rea spontan.
Satu tangan Nata terangkat untuk mengelus rambut Rea yang tergerai bebas dengan lembut. "Kalo kemaren lo diapa-apain sama temen-temen gue... percaya, deh, mereka nggak seperti yang lo pikirin," ucap Nata menenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...