"KATANYA mau ke rumah sakit? Kok malah ke-"
"Lo laper nggak?"
"Jawab dulu, maksud lo apa?!"
"Gue bohong."
Kedua mata Rea membulat tajam sambil menggertak.
"Gue nggak ngerti," desisnya. "Bisa-bisanya lo doain kakak lo kritis, padahal dia baik-baik aj-""Lo tahu nggak, sekarang seharusnya gue di mana?" Nata menyerahkan lembaran uang kepada mbak-mbak penjual seblak di trotoar, di antara klakson-klakson kendaraan, keramaian pembeli-pembeli dagangan lain, dan kalimat kecewa Rea.
Rea memutar mata malas. "Di mana?!"
"Acara keluarga besar di rumah," balas Nata sambil duduk di bangku dan menarik lengan Rea untuk mengikutinya. "Gue sama kakak gue di sana bakal dibangga-banggain sama nyokap ke keluarga besar gue. Setelah acara selesai dan pada bubar, keadaan kembali ke awal. Keluarga yang nggak saling kenal. Gue bakal balik ke apart, dan nyokap sama dia nggak peduliin gue sama sekali."
Tapi begitu mendengar penjelasan Nata yang masuk akal, rasa kecewa itu berganti dengan rasa kasihan. Apalagi gadis itu menyadari raut sok kuat cowok ini... rasanya Rea ingin terus berada di sini, mendengarkan cerita-cerita menyakitkannya karena hanya dia satu-satunya yang tahu kelemahannya ini.
•••
"KITA MAU KE MANA LAGI?!"
Rea perlu berteriak di antara denting-denting klakson kendaraan yang sedikit macet, dan berisik angin agar suaranya bisa didengar dengan jelas.
Rea memang suka kebut-kebutan sendiri dengan motor atau mobil, tapi kini dibuat ngeri oleh Nata yang ngebutnya kelewat ngeri dan bisa dibilang membahayakan nyawa. Bahkan tronton yang melaju cepat juga berani Nata selip tanpa berpikir resikonya juga besar, dan tidak memikirkan nyawa cewek di belakang seolah sudah merasa pro. Gadis itu tidak pernah melepaskan lingkaran tangannya yang mengerat di pinggang Nata selama berkendara.
"KE HATI LO AJA GIMANA?!" Nata meringis waktu mendapat balasan cubitan di pinggangnya.
Tak lama kemudian, motor itu berhenti di sebuah pantai dengan pemandangan indahnya karena sebentar lagi matahari akan terbenam.
Keduanya tertawa terbahak-bahak terlibat ke berbagai candaan. Kini keduanya memutuskan untuk duduk bersisian di atas pasir pantai, menikmati tenangnya ombak. Matahari yang akan tenggelam mulai menunjukan warna oranye, menahan mata Rea untuk tidak berhenti menatap keindahannya.
"Menurut lo, kenapa matahari itu tenggelam?"
"Hah?" Rea menoleh bingung karena pertanyaan Nata cukup retoris. "Ya karena emang takdirnya, lah," jawabnya tanpa ragu. "Basi banget pertanyaan lo?"
"Salah."
Dahi Rea berkerut penasaran. "Emangnya apaan?" Menebak-nebak jawaban apa yang akan Nata keluarkan.
"Ya karena nggak bisa berenang, lah."
Rea tersenyum masam. "Garing lo." Pandangan Rea kembali mengikuti arah pandang Nata yang sama sekali tidak teralih dari sunset yang terlihat dekat, namun tentu saja kalau digapai terlalu jauh.
"Sebenarnya udah lama banget semenjak kepergian nyokap, gue nggak mantai," ungkap Rea, angkat suara.
"Dulu kita sering ngehabisin waktu di sini. Sejak kepergian nyokap... gue jadi belajar buat mandiri. Yah, walaupun masih ada Daddy, tetep aja rasanya kayak ada yang hilang. Tapi gue bersyukur karena bagi gue, Daddy itu udah kayak ayah sekaligus ibu buat gue."
"Lo tau? Waktu kita sering jalan bareng-tapi sekarang jadi jarang karena Daddy sering sibuk-pas ke bioskop, kan, banyak tuh yang dateng sama pacarnya, dan cuma gue doang yang bareng bokap."
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...