LAKI-LAKI itu duduk melamun menatap luar jendela dengan tatapan kosong. Dadanya bergetar naik turun mengikuti irama sesegukannya, lagi-lagi menangis.
Kedua bola mata Rea diputar jengah. Tangannya masih sibuk menyetir, kemudian jemari kirinya bergerak untuk menyetel musik. Ternyata hasilnya, isakan Mike justru bertambah hingga mengalahkan musik yang Rea setel. Antara tidak tega dan jengah melihat Mike yang masih cengeng, Rea mengeraskan volume musiknya.
Lagu milik Aldi Taher yang berjudul 'Goyang Lato-lato' terdengar mengeras.
Suara tangisan Mike pecah lagi-lagi mengalahkan musik. Rasanya sekarang Rea jadi ingin dijahili Mike seperti biasanya daripada harus menyaksikan sepupunya terus-terusan menangis seperti orang tidak mempunyai semangat hidup.
Karena tidak konsentrasi menyetir disebabkan oleh tangisan Mike yang mengalahkan suara musik dengan volume full, tanpa sengaja, mobil yang mereka tumpangi menyenggol pengendara motor yang tiba-tiba menyelip dari arah kiri, membuat Rea refleks menginjak rem.
Tubuh keduanya sontak terlempar ke depan dan segera ditahan sabuk pengaman. Selama beberapa detik tidak ada yang bicara, yang terdengar hanya buruan nafas panik. Tangis Mike pun sudah terhenti.
Sementara Pengendara di depannya sudah jatuh bersama motor sport-nya yang dimodif.
Rea menggeram dan memukul setir hendak keluar mobil tapi Mike menahan tangannya, justru Rea menyentak lepas dengan wajah berapi-api.
Rea keluar mobil untuk memastikan, apakah orang di depannya baik-baik saja, tapi sepertinya bukan Rea namanya kalau tidak marah-marah dulu.
"Heh, bego! Tolol, ya, lo?! Sengaja lo cari mati biar gue ganti rugi? Hah?!"
Pengendara yang tidak sengaja Rea senggol itu berusaha bangkit bersama dengan motornya. Lalu membuka helmnya seiring dengan omelan Rea selanjutnya.
"Kalo lo nggak bisa ngendarai motor, mending nggak usah sok-sokan bawa mo-" Rea menelan kalimatnya begitu melihat siapa di balik helm itu, membuatnya berhenti mengoceh. Ketika melihat wajahnya, Rea merasa familiar, sepertinya mereka pernah bertemu sebelumnya, tapi tidak sempat berkenalan karena menurut Rea tidak penting mengetahui siapa dia.
Cowok yang lebih tinggi dari Rea itu menyeka rambut gondrongnya ke belakang, sebelum balas menatap Rea datar, "Ya elonya ngapain lambat ngendarai mobil, terus giliran gue selip, lo nyenggol motor gue?"
Rea mengangkat sekilas telunjuk kanannya tajam. "Elonya bego! Udah bego, ngapain nyelip dari arah kiri? Baru belajar naik motor aja udah sok-sokan!"
Tatapan cowok berjaket kulit dengan logo petir di dada kiri berubah ketika menyadari wajah familiar Rea juga. Tangan kirinya masih menenteng helm. Di jalanan itu memang cukup sepi. Wajah keduanya masih bisa dilihat jelas dengan bantuan lampu jalanan.
"Gue kayak pernah liat lo? Lo... temen sekolahnya Nata, bukan?"
"Nggak penting gue siapa." Kaki kanan Rea menendang badan motor si cowok yang sudah berdiri, tapi tidak jatuh karena Rea menendangnya tidak keras. Cowok itu melotot. "Belajar naik motor yang bener dulu, baru lo kendarai ugal-ugalan sepuas lo. Atau perlu gue ajarin? Untung mobil bokap gue cuma lecet dikit. Dan masih untung lo nggak gue minta buat ganti rugi."
"Oke. Gue minta maaf." Akhirnya si cowok mengalah. Pikiran cowok itu kosong ketika menjulurkan tangannya refleks ke arah Rea. Tatapannya masih menatap mata Rea yang menatapnya dengan tatapan tajam. "Rio."
Rea tidak membalas jabatannya, tapi dia membalas perkenalannya cuek. "Rea!"
Dan, tanpa menunggu cowok itu menarik kembali tangannya, Rea sudah berbalik dan melangkah kembali masuk mobil. Otomatis uluran tanpa balas itu menurun.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...