Di mansion, Sena tak bisa tidur dengan tenang. Penyihir itu mengingat jika dia memiliki janji bertemu dengan Stefan di siang hari, lalu Jayden meminta Sena bertemu pada sore hari. Entah apa yang keduanya coba sampaikan, tapi memikirkannya membuat kepala Sena semakin terasa pusing.
"Astaga! Tugasku dulu tinggal menjodohkan Selena dan Hiro, tapi sekarang aku juga harus mengurus kisah asmara Sena! Kenapa semua ini begitu rumit? Ini lebih rumit dari mempelajari tangga nada lagu!" gerutu Sena.
Satu malam penuh, Sena tak bisa tidur dengan tenang. Bahkan, ketika esok hari tiba, mengantarkan matahari untuk berada tepat di atas langit, Sena masih merenung dengan mata rubah tak berkedip.
Penyihir itu baru bangun dari renungannya, ketika jarum jam pada jam dinding menunjuk pukul dua belas siang. Spontan, mata rubah Sena memelotot. Penyihir itu terburu-buru untuk berdandan, sekaligus mempersiapkan diri bertemu dengan Stefan.
Padahal ini hanya pertemuan biasa, tetapi insting Sena mengatakan jika Sena harus tampil lebih baik dari kemarin. Oleh karena itu, tanpa sadar Sena meminta para penyihir untuk mendandaninya sampai mereka semua dibuat terheran-heran.
"Anda sangat aneh, Nona. Apa ini karena pesan dari Pangeran Jayden? Dia ingin bertemu dengan Anda pada sore hari di depan mansion," kata salah satu penyihir yang tengah menyisir rambut Sena.
Sena tersenyum kikuk, lalu memberitahu, "Aku akan pergi berjalan-jalan di siang hari ini. Nanti aku kembali sore."
"Oh, baiklah. Kami akan mengatakannya kepada Pangeran Jayden. Tetapi, untuk apa Anda jalan-jalan?" Pertanyaan dari penyihir membuat Sena terdiam beberapa menit. Sena lalu tersenyum dan berbisik, "Hanya mencari ketenangan sebelum penobatan Selena tiba."
Sesuai tebakan Sena dalam hati, jawaban yang baru saja dia sampaikan membuat penyihir di belakangnya tidak menyinggung soal jalan-jalan lagi. Wanita itu langsung fokus mendandani Sena, sampai Sena sudah siap untuk bertemu dengan Stefan.
"Aku pergi!" pamit Sena dengan senyuman lebar.
Cahaya matahari memancar indah di atas kepala Sena. Penyihir itu berlari dengan sudut bibir ke atas, dan mata rubah berbinar. Entah kenapa, Sena tak sabar untuk bertemu dengan Stefan, padahal dia baru berpisah satu hari dengannya.
Sena pikir dia sudah terlambat menemui Stefan, setelah melihat jam dinding di mansion. Namun, setelah Sena berlari sekuat tenaga, takut terlambat bertemu dengan Stefan, ternyata Stefan tak ada di telaga.
Dengan napas terengah-engah, Sena melirik ke arah telaga. Tepat di sana terpantul bayangan sinar matahari yang memancarkan keindahannya. Hal itu membuat Sena tersenyum, dan menebak, "Aku belum terlambat."
Cahaya sinar matahari menamani Sena untuk menunggu kedatangan Stefan. Sena terus menunggu, sampai dirinya pindah ke bawah pohon. Namun, semakin lama Sena menunggu, semakin sudut bibirnya turun ke bawah. Penyihir itu mengernyitkan kening, apalagi ketika melihat matahari mulai tertutupi awan tebal berwarna gelap.
"Ke mana Stefan? Apa aku salah hari? Atau pemuda itu yang tidak menepati janjinya?" tanya Sena bingung.
Senyuman Sena langsung luntur, ketika merasakan tetesan air berjatuhan ke kepalanya. Bahkan, tetesan lain ikut berlomba-lomba menetes, lalu jatuh menyatu dengan air telaga.
Langit menggelap, begitu juga dengan suasana hati Sena yang memburuk. Perlahan cahaya matahari yang bersinar terang terhapus, tergantikan dengan puluhan tetes air hujan. "Pembohong. Dan ini salah perasaan penyihir ini, yang mudah ditipu oleh Stefan."
Tanpa menunggu waktu lama terbuang, Sena akhirnya memutuskan untuk pergi dari telaga. Penyihir itu melepas jepit rubah di rambutnya, kemudian membuangnya ke sembarang arah. Suara tetesan air hujan semakin mengganggu ketenangan Sena, sampai akhirnya Sena memutuskan untuk menutup telinga sembari berjalan ke arah mansionnya.
"Jika aku bertemu dengannya lagi, akan kuhajar dia habis-habisan! Bagaimana bisa dia berani berjanji, jika tidak bisa menepatinya!" gerutu Sena.
Sena pulang dengan basah kuyup. Seluruh tubuhnya dilapisi air hujan. Begitu juga dengan bajunya yang memberat karena terisi air. Sena mengharapkan teh hangat, dan mantel baru dari para penyihir.
Sayangnya, ketika Sena melangkah memasuki gerbang, sesuatu yang tidak biasa berada di depan matanya. Cairan merah bertebaran di tanah depan mansion. Semuanya bersatu dengan air hujan. Begitu pula dengan botol ramuan yang pecah, dan belati taj*m menyebar di mana-mana.
Mata rubah Sena memelotot. Tanpa mempedulikan air hujan yang menetes ke tubuhnya, Sena berlari memasuki mansion. Penyihir itu tiba-tiba merasakan jantungnya terenyut, bersamaan dengan dadanya yang terasa sesak. Tepat di depan matanya, puluhan penyihir tergeletak tak bernyawa di atas lantai.
"Penyihir!"
"Ada apa ini?! Apa yang sudah terjadi?!"
"Bangun! Kalian tidak mungkin meninggalkanku seperti ini, bukan?!"
"Kalian bilang, kalian ada di pihakku?! Kenapa sekarang malah begini?! Siapa orang yang telah melakukan hal ini kepada kalian semua?!"
"Siapa orangnya?!"
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMPTED BY SUN WITCH [SUNGSUN JAYNO]
FanfictionSean, seorang pemuda bermulut julid tak pernah sedikit pun tunduk pada pembuli. Namun, karena sikap teguh Sean dalam mempertahankan haknya, sekelompok pembuli sengaja mendorong Sean dari rooftop atas sekolah. Sean pikir ini adalah akhir hidupnya, ak...