BAGIAN 28. Sang Penakluk

10 6 0
                                    

Setelah kami mengalahkan belut raksasa, aku dan warga desa Nutsi bermalam satu malam di desa Sindu dan bersiap berangkat pulang besok pagi. Ketika pagi telah tiba, aku dan warga desa Nutsi berkumpul di area dekat kantor desa, kami hendak berpamitan di sambut seluruh warga desa Sindu datang untuk berterima kasih. 

“Tuan Kris semoga ini bisa sedikit membantu Anda” Ucap Kepala Desa Sindu memberikan sesuatu kepadaku.

“Ehh.. apa ini pak Kades?!” Aku sedikit kebingungan dengan sekantong emas yang di berikan. “Pak Kades yakin dengan apa yang anda berikan?”

“Kau adalah penyelamat kami, apakah masih kurang tuan Kris?" Tanya kepala desa. 

“Ehh bukan begitu, baiklah aku akan menerimanya dengan sepenuh hati” Aku tentu saja sungkan dengan hadiah yang aku terima. 

Aku pantas menerimanya sebagai tuan penakluk belut raksasa, begitu yang di katakan warga Desa Sindu, tentu saja aku sangat senang atas pujian mereka.

“Jasamu yang luar biasa ini akan terus menjadi cerita ke anak cucu kami sebagai seorang yang berhasil menaklukkan belut raksasa aku berjanji” Ujar Kepala desa penuh dengan keyakinan. 

Aku sangat senang mendengarnya, kalau itu baik untuk para warga maka aku mempersilahkan untuk mereka melakukan hal tersebut. Pak Kades mengulurkan tangannya di sambut aku yang balas menjabat tangan Pak Kades. 

Warga desa Sindu menyarankan untukku mampir di desa mereka kalau ada kesempatan, warga desa akan selalu menyambutku dengan baik. Kepala desa melambaikan tangannya di ikuti warga desa yang ikutan menyampaikan salam perpisahan kepada kami.  

Aku tersenyum dan balas melambaikan tangan. Aku dan warga desa Nutsi berjalan kembali menuju desa. Cerita kehebatanku akan selalu di kenang dan di ceritakan dimana-mana, aku seperti pahlawan di masa lampau yang selalu membantu dan menolong masyarakat pada saat kesusahan. 

Sepanjang perjalanan pulang aku di puji oleh warga desa Nutsi, tentang kehebatanku yang dapat membantu dan mengalahkan belut raksasa, aku merasa malu akan hal tersebut sekaligus cukup tersanjung. 

“Aku cuman melakukan apa yang bisa kulakukan tuan, kebetulan saja aku berada di Desa Nutsi dan belut raksasa itu muncul di desa tetangga” Ucapku merendah. 

“Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini tuan, ini merupakan sebuah takdir” Warga desa itu kembali meyakinkanku. 

“Terserah kau saja mau berpendapat bagaimana aku tidak punya hak untuk melarangmu berpendapat” Jawabku malu-malu. 

“Aku beruntung bisa melihat seorang pahlawan masa depan yang berada di dekatku” Warga desa itu kembali menyanjungku. 

Aku lantas tertawa kecil merasa diriku tak sehebat itu, aku mengatakan bahwa aku merupakan petualang biasa sebagaimana yang mereka kenal. Mereka semua tertawa riang bahagia pulang menuju desa Nutsi. 

Berpindah ke Kota Edelweis, masyarakat kota melihat baliho sepanjang jalan yang sementara di pasang oleh Prajurit kerajaan dan masyarakat sekitar. 

“Heh.. itukan anaknya Andrew?” Ucap pria berambut lurus. 

“Iya kau benar tidak salah lagi dia akan ikut untuk pemilu tahun depan” Balas temannya pria berkulit putih. 

“Apakah urat malunya sudah putus? berani sekali dia mencalonkan dirinya dia pikir kita tidak tahu masa lalunya seperti apa.”

“Kau benar kejadian itu terjadi 4 tahun yang lalu dia di bebaskan begitu saja tanpa ada persidangan lanjutan dari pihak kerajaan” Balas pria berkulit putih. 

“Lihat saja partai yang mengusungnya itu adalah partai yang sama dengan ayahnya, ayah anak sama saja” Pria berambut lurus mulai jijik membahas mereka berdua. 

[Tamat] Pahlawan dari Pandai BesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang