"KAMU nggak perlu masak malam ini."
Langkah Rea di anak tangga pertama terhenti saat pulang-pulang sendiri disambut kata-kata Omanya.
"Kenapa, Oma?"
Sebenarnya, ada rasa senangnya juga karena dia bisa maraton drama Korea favorit di kamarnya, tapi Rea penasaran karena tumben sekali Oma tidak menyuruhnya masak untuk makan malam. Ini mungkin bisa Rea cap sebagai Hari Baik Oma.
"Udah ada banyak makanan," jawab Oma. Seulas senyumnya bisa Rea lihat dengan jelas di meja makan.
Sebenarnya arti senyum itu apa? Tidak mungkin, kan, seperti di drama-drama, Oma membunuh anggota keluarga, lalu menjadikan tubuhnya sebagai santapan? Oke, Rea, stop jadi korban drama!
Di depan, Oma sudah tersedia berbagai makanan dan minuman yang sudah disiapkan di atas piring masing-masing. "Ternyata, tetangga-tetangga di sini, orangnya ramah-ramah banget, ya?" ucap Oma, sementara tangannya masih sibuk mengambil nasi dan lauk untuk dirinya sendiri.
Oh. Sekarang Rea jadi bisa langsung paham dan langsung menebak-nebak apa maksud Oma dan apa alasan jelasnya Oma yang tumben tidak menyuruhnya masak.
Rea menarik kursi untuk diduduki di depan meja makan. Ransel mininya masih dicangklong di punggung. ""Selalu begitu, Oma...," responsnya dengan nada sedikit tidak suka. "Biasa, mau caper dapetin hati Oma sama Daddy."
"Kok bisa kamu berpikiran kayak gitu? Kamu nggak suka kalo ayah kamu nikah lagi?"
Rea baru akan memasukan sesendok makanan ke dalam mulut begitu mendengar pertanyaan Oma, tapi gerakannya terhenti di tengah jalan. Kini, matanya menatap mata Oma yang menyantap sesendok makanan untuk santapan pertama.
"Emangnya kalo Oma jadi aku, Oma bakalan nerima kalo Daddy nikah lagi?" tanya Rea dengan hati-hati, waspada jika dia salah bicara, bisa-bisa tidak jadi dikasih jatah makan malam ini.
"Yaaa, tergantung. Kalo calonnya tepat dan Oma srek, yaaa, Oma mau-mau aja, lah."
"Kalo nggak?"
"Kalo nggak tepat, Oma akan bantu buat cari yang lebih tepat."
Rea senyam-senyum tanpa Oma sadari di tengah kesibukan keduanya menikmati makan malam. Gadis itu sudah memikirkan keputusan apa yang harus dia lakukan ke depan.
"Heh!" Setidaknya sampai teriakan Oma mengagetkannya. "Lagi makan jangan ngalamun! Cepat habisin!"
•••
"Lah, katanya gambar manusia, Pak? Kok, yang jadi modelnya malah si curut ingusan?" Suara itu keluar dari siapa lagi kalau bukan barisan biang rusuh di belakang? Sontak beberapa murid tertawa ngakak mendengarnya.
Pak Rohmat tidak merespons, hanya geleng-geleng kepala sambil lalu setelah memberikan arahan.
Jam pertama di kelas Rea hari itu diisi dengan tugas seni rupa menggambar sketsa manusia yang pernah diajarkan oleh guru Seni Budaya-sekaligus pembimbing ekskul melukis: Pak Rohmat. Guru itu menunjuk Satria, selaku ketua kelas yang akan menjadi modelnya. Satria diperingatkan untuk tidak banyak gerak saat berpose di depan.
Semua murid mulai disibukkan dengan tugas individunya masing-masing. Tidak sehening ketika pelajaran Bu Wening-pasti ada saja yang membuat rusuh seperti yang dilakukan oleh beberapa biang rusuh yang justru menjadikan lukisan sebagai bahan lelucon; menggambar sembarangan tidak sesuai gambar, justru menggambar pemandangan.
Ada yang menggambar Satria dengan gambaran yang dilebih-lebihkan-tidak seperti Satria asli justru seperti kakek-kakek nyeri pinggang, ada lagi yang menjadikan gambar Satria mirip Wali Songo, dan masih banyak lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...