"LO kalo gue suruh, marah-marah. Giliran sama orang lain aja takut, dasar pecundang!"
"Ya... mau gimana lagi? Dia, kan, senior gue?"
"LAH GUE KAKAK LO, GILA!"
"Elo beda, elo mah."
Rea mendengus keras dengan kedua lengan yang dilipat di dada. Menatap lurus ke depan dihalangi kaca mobil. "Nggak asik."
Mobil yang dikemudikan Mike berjalan mulai melambat saat hampir akan berhenti di depan gerbang kompleks perumahan yang paling mewah tingkat tiga. Di antara yang lain ini paling mewah. Kalau dibandingkan dengan rumah Zara, ini mungkin setara. Tidak heran lagi keduanya anak konglomerat.
Rea tidak turun saat Mike turun terlebih dulu. Mike tidak berani membawa masuk mobil, dia hanya memberhentikannya di depan gerbang saja. Tidak ada satpam di sana. Rea memperhatikan Mike lewat kaca sebelahnya.
Sepupunya itu diberi Zizad sebuah tas jinjing agak besar ukurannya dan tebal. Tidak tahu isinya apa, yang jelas Mike menerimanya dengan mudah, kemudian berjalan lagi hendak kembali. Zizad pun sudah masuk rumah lagi.
Hanya itu pertemuan singkatnya yang tidak penting menurut Rea.
"Apa isinya?"
"Pakaian kotornya," jawab Mike, terengah sedikit sambil meletakkan tas tadi ke kursi belakang. Tangan kanannya dikibas-kibaskan pegal seperti baru saja mengangkat besi. "Gue disuruh laundry."
"Emang kurang asem tuh orang!" maki Rea setengah emosi begitu menatap ke pintu rumah mewah itu lagi. "Dia nggak punya pembantu apa? Kenapa yang disuruh-suruh justru elo? Dibayar berapa lo?"
Mike menjalankan mobil lagi. "Yahhh, sejujurnya gue nggak boleh ngasih tahu siapa-siapa termasuk lo. Tapi, mau gimana lagi? Dia nggak pernah berhenti ganggu para pecundang kayak gue."
"Goblok!" sungut Rea. "Ngapain ngeluh ke gue? Tinggal tolak aja apa susahnya, sih?"
"Sepele. Gue juga masih sayang nyawa."
"Kalo sayang nyawa, lindungi diri lo sendiri, kan, bisa? Ajak duel. Makanya, yang tegas dong jadi cowok! Lembek amat. Banci. Otak genius, tapi pas kayak gini otaknya ditaruh di selangkangan."
Berbagai hinaan sudah biasa Mike dengar dari Rea, jadi telinga cowok itu sudah merasa kebal walaupun dalam hati ingin balas marah-marah, tapi mau melawan sepupu tercintanya satu ini sampai kiamat pun tidak akan pernah selesai.
Di detik berikutnya, Rea mengambil tas jinjing yang Mike taruh di belakang tadi, membuka jendela. Dia sempat mengumpat karena tas jinjing itu terasa berat.
Mike menoleh bolak-balik gelisah. "WOI, LO MAU NGAPAIN?!"
"BUANG!"
"LO NGGAK WARAS?!"
"LO YANG NGGAK WARAS!"
"SEMUANYA BISA DISELESAIKAN BAIK-BAIK! LO JANGAN BUANG, DONG! NTAR GUE KENA—RE!"
Rea mengibas-ibaskan kedua telapak tangan seolah baru saja selesai membuang kotoran jauh-jauh. "Dikiloin juga nggak bakalan laku tuh baju."
Mobil mendadak direm. Mike berdecak kesal dan membuka pintu mobil untuk turun. Kemudian berlari ke tempat sebelumnya hingga sampai persis di tempat Rea melempar tas tadi.
Mike ketakutan. Tapi, dia terkejut tidak percaya saat melongok ke bawah jalan itu yang dibatasi besi. Isi tas keluar semua, dan yang membuatnya terkejut, isinya hanya satu kain dan beberapa bebatuan.
Pantas saja terasa berat. Sinting, Mike dikerjai.
BRAK!
"ASTAGFIRULLAH!!" teriak Rea terkejut saat tiba-tiba pintu dibanting oleh Mike yang baru saja masuk mobil lagi. Gadis itu menoleh heran sambil mengelus dada. "Mana? Kok nggak dipungut lagi? Lagi dimakan hewan buas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...