51 | Sandiwara Nata

116 66 2
                                    

"KITA ini mau ke mana, sih?"

"Ya masih area rumah sakit."

"Tangan lo bisa diem nggak? Udah didorongin juga, masih dorong pake tangan sendiri! Gue dorong ampe gelinding mampus lo!"

"Iye, iye. Bawel amat, elah." Nata memutar matanya malas, membiarkan Rea terus mendorong kursi rodanya, sebelum mata Nata terpaku ke suatu tempat. "Tuh, kita makan di sana." Laki-laki itu menunjuk sebuah bangku kosong.

Kedua mata Rea membulat cemas. Ke sana? Bahkan sebelum sampai sini saja Rea sudah merasakan bulu kuduknya meremang, dan Nata mengajaknya ke tempat yang sesepi itu? Tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali?

"Ayo, cepetan. Katanya laper? Gue apa lagi?"

Rea menelan ludah dengan pahit. Rautnya mengartikan kalau sedang takut. Dia yakin, telinganya tidak salah tangkap kalau dia mendengar suara-suara aneh di malam hari itu.

Suara-suara aneh yang bukan berasal dari rumah sakit yang ditempati, tapi suara-suara yang sepertinya ada sekitar area sini. Memang wajar suara-suara itu ada, tapi gila saja kalau Nata mengajaknya makan di sini. Ini sama saja Nata mengajaknya uji nyali.

Nata berdecak tidak sabar karena Rea tak kunjung mendorong kursinya. Tapi saat lelaki itu mendongak menyadari raut Rea, senyumnya tertarik.

"Lo pucet banget? Takut?"

Bagi Rea, siapapun yang tidak takut berada di area rumah sakit yang sesepi itu dan tidak ada tanda-tanda kehidupan, ditambah tempat itu seperti sudah terbengkalai, fiks, orang itu bukan manusia. Dan jika memang Nata bukan manusia, itu artinya hanya Rea sendirian.

Dia berusaha menepis jauh-jauh pikiran negatifnya itu agar raut takutnya tidak makin kentara.

"Nggak, gue nggak takut, kok," alibi Rea, berusaha terlihat berani walau jauh dari dalam lubuk hatinya dia merasa tidak enak berada di tempat ini.

Lagian Nata aneh-aneh saja, atau dia memang sengaja? Rea mendorong kembali kursi roda yang Nata duduki menuju tempat itu.

"Nah, tempat kayak gini nih, enak banget. Bikin tenang. Sumpek gue di kamar mulu. Apalagi pas malem-malem gini. Sejuk, ya?"

Bikin tenang, katanya?

Gadis itu mengangguk mengiyakan saja.sebelum memapah Nata hati-hati untuk duduk di salah satu bangku kosong itu. Rea membuka kresek putih, mengangkat mika, membukanya, dan memakan isinya sambil diam-diam mengamati sekitar waspada.

Siapapun tolong Rea, Rea tidak bisa menikmati makanannya dengan tenang kalau suasananya mencekam begini. Nata juga melakukan hal yang sama, tapi lelaki itu tidak secemas Rea, justru terlihat menikmati makanannya dengan santai tanpa ada raut takut sedikitpun.

Apa di sini... memang hanya Rea saja yang manusia?

"Nat."

"Ya, kenapa? Mau nambah caos lagi?"

Rea menggeleng cepat, terlihat panik saat mendengar suara aneh lagi. Gadis itu menggeser duduknya lebih dekat dengan Nata hingga mempersempit jarak dan merangkul satu lengan kekarnya.

Diam-diam Nata senyam-senyum sendiri diperlakukan seperti itu. Rea sebenarnya hanya menggigit martabaknya sekali, rasanya tidak ada selera makan lagi kalau masih berada di tempat ini.

"Kenapa, sih, Rereee? Kalo takut bilang aja."

"Siapa, sih, yang punya ide buat ke tempat keramat kayak gini? Lo sengaja, ya, mau nakut-nakutin gue?"

NATAREL✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang