"INI, sih, namanya ngerjain murid doang!"
Protesan Rea jelas disetujui tujuh murid lainnya meskipun dalam hati.
Gedung lantai tiga lab IPA ternyata lebih seram daripada yang mereka duga. Penuh dengan meja-kursi tak terpakai, komputer-komputer rusak, berbagai alat laboratorium yang terbengkalai, dan debu.
"Boleh dibayar pake denda aja nggak, sih? Gue bayarin, deh, bertujuh," ucap Zara.
Rea tertawa lebih dulu dibanding yang lainnya, kecuali Karin. Sahabat Rea satu itu terlihat murung dari awal masuk, padahal sekarang hari pertamanya kembali ke sekolah setelah nyaris sebulan izin, sudah dihadapkan dengan gladi bersih saja.
"Gini aja, kita bagi-bagi tugas." Nata angkat suara, yang lain mendengarkan. "Para cowok yang angkat-angkat kursi sama meja, terus para ceweknya bersihin debu-debu sama buang kertas-kertas yang udah nggak layak digunain aja, gimana?"
Jacky, Farel, Karin, Zara, dan Lauren nyaris bersamaan menyetujui rencana Nata, sementara Rea sendiri yang berbeda pendapat, protes, "Kenapa, ha?! Mentang-mentang lo cowok, lo ngerasa kuat, sementara para cewek di mata lo lemah, gitu?"
Nata berkedip, tidak menyangka kalau Rea yang mengatakan hal yang terdengar sensitif. Padahal bukan begitu maksudnya, cewek ini... "Ya nggak gitu juga, maksudnya biar cepet kelar aj—"
"OHHH, JADI LO NGATAIN KITA LEMOT?!"
"Nggak git—"
"UDAH NGERASA PALING KUAT?!"
"Ck. Kenapa, sih, lo? Suka banget mancing masalah kalo sama gue?"
"HARUSNYA GUE YANG BILANG GITU!"
"YA—"
"ADUH, PERTENGKARAN SUAMI ISTRI KENAPA DIBAWA-BAWA AMPE SINI, SIH?!" Zara berteriak frustasi. "Inget tempat dong kalian berdua. Berantemnya bisa entaran aja nggak, sih? Ini kalo kita ribut-ribut, kagak kelar-kelar, yang ada mati kelaparan!"
Rea mendengus kasar dengan kedua tangan yang dilipat, tidak sudi menatap ke arah Nata yang sekarang juga membuang mukanya. Karin mendahului yang lain mulai membersihkan debu, diikuti Zara, lalu Lauren, kemudian yang lain juga mulai bergerak.
Melupakan kejadian yang hampir memakan waktu berjam-jam kalau tidak segera dimarahi Zara.
Ditengah-tengah aktivitas kesibukan mereka, Karin diam-diam merasakan kepalanya pening. Sebenarnya, sedari awal bersih-bersih, Rea selalu mengawasi gerak-gerik sahabat satunya itu. Gadis itu mendekati dengan perasaan khawatir.
"Lo kalo capek boleh istirahat dulu, kok."
Karin menoleh saat merasakan pundaknya disentuh. Wajahnya terlihat kecapekan, pucat, padahal baru permulaan, tapi mau bagaimanapun, Karin saat ini sedang menjaga kesehatan, demi bayi yang ada di dalam kandungan. Gadis itu mengangguk, lebih baik menyetujui Rea daripada nantinya akan ada drama yang tidak terduga-duga.
Rea pun menuntun Karin keluar lab, sementara yang lain terlihat menampilkan raut bertanya-tanya, ada apa?
"Karin kok akhir-akhir ini keliatan aneh, ya?"
"Mukanya pucet. Lagi sakitkah?"
"Kok Rea tahu-tahu aja, sih, kalo Karin capek?"
"Merhatiin mulu, sih."
"Dia juga hampir sebulan nggak ngasih kabar ke kita."
"Rea juga nggak pernah cerita. Padahal yang paling lengket sama dia, kan, Rea?"
Zara menghela nafas putus asa. "Kok... gue ngerasa ada sesuatu, ya? Sebenarnya... apa, sih, yang mereka rahasiain dari kita?"
Hening.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...