55 | Balkon Kamar

118 72 2
                                    

"KAMU lagi! Kalo dikasih tahu yang lebih tua itu nurut! Mau jadi apa kamu? Ini akibatnya kalo nggak dengerin kata-kata Oma!" Oma menarik sikut Rea, lalu menghempaskannya. "Jadi kena karma, kan?!" Lagi-lagi... "Ngerti nggak kamu, Rea?!"

...diomeli.

"Iya."

"Sekali lagi kamu nggak nurut, semua fasilitas yang Papa kamu kasih ke kamu, Oma tarik. Kamu nggak boleh main HP, laptop, SEMUANYA, nggak boleh keluyuran tanpa Oma awas—"

"Rea itu udah gede!" Akhirnya, Rea memberanikan diri menjawab. Emosi mengambil alih semuanya. "Kenapa, sih, Oma selalu-"

"JANGAN POTONG UCAPAN SAYA!"

Oma membentak marah persis saat ayah Rea nyaris menggapai gagang pintu utama dari depan, sebelum mengurungkan niatnya.

"Kamu mau, balik ke Madiun? Ke sekolah lama kamu? Kalo kamu nggak nurut, nanti kamu kayak Mama kamu!"

"Jangan sangkut-sangkutin Mommy juga."

"Kalo aja Mama kamu nurut sama saya, nggak nikah sama papa kamu itu, pasti kejadiannya nggak bakalan kayak gini!"

Masih di depan, Irfan merasa tidak berguna karena tidak pernah membela anaknya saat diomeli mertuanya.

Tenggorokan Rea tersekat. Kedua matanya memanas. "Oma pikir kalo Daddy sama Mommy nggak nikah, aku nggak kecelakaan kayak gini? Yang ada aku nggak lahir di dunia ini! Itu, kan, yang Oma mau? Oma benci sama Rea, Oma nggak mau Rea lahir, kan?"

"Jaga ucapan kamu! Oma nggak bilang gitu!"

Rea melangkah menuju anak tangga tanpa memedulikan ucapan Omanya yang kini duduk di sofa sambil memijat pelipisnya. Sepertinya Oma lupa minum obat hingga membuat darahnya naik dan lagi-lagi Rea yang dipelampiasan.

Pelan-pelan, Irfan mulai memberanikan diri menekan gagang pintu, membukanya. Sepi. Hanya ada Mama mertuanya di ruang tamu tengah meminum obat dan air putih.

Oma Rea-menatap menantunya tajam. "Sudah saya bilang, sebaiknya kamu cari pengganti Tiana!"

Irfan terdiam.

"Anak kamu kecelakaan. Sikutnya luka-luka. Susah diberitahu. Keras kepala. Padahal saya sudah bilang, Mike yang nyetir. Biar kejadiannya nggak seperti ini. Dia ugal-ugalan. Kamu itu gimana, sih, Ir, kalo didik anak? Dulu dia sering balapan juga dibiarkan. Mana bisa kamu jadi ayah sekaligus ibu buat Rea?" Oma menarik nafas.

"Baru jadi ayah aja nggak becus jaga anaknya! Anak cewek kok malah diajarin bela diri, bukannya diajarin masak. Katanya pernah kursus masak?"

"Saya sibuk, Ma. Sekarang kurang ada waktu untuk Rea. Kalo Mama bahas masa lalu Rea, saya juga udah menasihati yang baik-baik."

"Alasan aja bisanya. Makanya, cari istri lagi! Biar Rea ada yang ngurus! Masa harus saya terus? Saya ini sudah tua, sakit-sakitan!"

"Saya... belum memikirkan mau menikah lagi."

•••

Ruangan itu gelap. Cahaya lampu di jalanan terlihat sedikit memasuki celah-celah jendela, hingga menyorot punggung Rea yang naik-turun sesenggukan. Rea selalu kalah. Rea selalu lemah menghadapi Omanya. Dia pernah ingin membantah seperti tadi, tapi baru berani melakukannya hari ini.

Sekali membantah, justru membuatnya merasa bersalah hingga akhirnya menangis.

Rea tahu Oma sakit-sakitan dan gampang marah. Tidak seharusnya Rea keras kepala, membantah dan membentak seperti tadi. Sepertinya, mengucapkan kata 'maaf' sudah tidak berlaku lagi karena Rea terlanjur kebawa emosi.

NATAREL✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang