"Di masa lalu tuh cuma ada penyesalan yang baru dirasain sekarang."
•
"DELAPAN jahitan," ringis Rea ngeri begitu melihat bekas-bekas jahitan yang masih baru, belum sepenuhnya pulih di pinggang Nata sampai setengah perutnya.
Cowok itu tersenyum menatap gadisnya. Jemari keduanya masih saling bertautan berjam-jam di brankas tempat Nata berbaring hingga berkeringat, sementara jemari sebelah Rea sibuk menyuapi potongan apel ke mulut Nata.
Sudah tiga hari laki-laki itu berada di rumah sakit dan belum bisa bangkit. Kalaupun dipaksakan, jahitan yang masih basah itu akan terbuka dan menyakitinya. Selama itu pula, banyak siswi-siswi yang memberi buah tangan untuknya. Lebih banyak siswi dibanding siswanya.
Jemari sebelah Rea beralih mengambil satu persatu bingkisan oleh-oleh dari beberapa siswi, membaca nama pemberinya satu-satu. "Dari Natasha, Clara, Windi, Bianca, Lulu, Desti, Dara, Aurora-gila, cewek semua. Eh? Desti? Bukannya tuh cewek pernah mukulin lo gara-gara Revan?"
"Ngeliatnya, ya, jangan yang dari cewek-cewek doang, dong. Itu juga ada dari cowok, loh." Nata tidak bisa menahan senyumnya begitu menyadari raut Rea yang mudah ditebak kalau gadis itu pasti tengah dilanda api cemburu.
Rea mengerlingkan matanya malas. "Ya nggak apa-apa, sih, kalo cewek semua." Gadis itu menyuapi potongan apel lagi kini terlihat sedikit tidak ikhlas seiring kata-katanya keluar, "Lagian cowok kayak lo udah pasti nggak ada yang nggak merhatiin di sekolah," lanjutnya.
Tepat saat Nata tertawa pelan karena balasan Rea dan rautnya yang kelewat lucu saat cemburu sembari menahan sakit, derit pintu yang dibuka dari depan terdengar, mengalihkan atensi keduanya.
Ternyata Farel. Dia sudah sembuh dari semalam dan memilih langsung pulang saja. Tidak terlalu suka berlama-lama di rumah sakit. Dan sekarang Farel menjenguk Nata untuk pertama kali.
Tiga hari yang lalu, pasca kejadian dan sempat menggemparkan berita di TV karena Elang tertangkap, ke duanya, ditambah Abi, memang dibawa ke rumah sakit bersama. Tapi Nata yang lebih parah, sedangkan Farel hanya luka-luka luar saja, bahkan tidak perlu dirawat berminggu-minggu seperti Nata, begitu pula dengan keadaan Abi.
Sahabat Nata itu melangkah mendekat, menunjukan raut mengejek saat menyadari Rea dan Nata saling menautkan jemari.
"Ya elah, nggak di sekolah, nggak di rumah, nggak di RS, nggak di mana-mana, gandengaaaaan mulu. Heran. Nggak bosen apa?"
Rea berdecak. "Syirik mulu perasaan lo. Makanya, jangan suka gantungin perasaan cewek, nggak punya kepastian, jadi jomblo karaten, mampus lo!"
Farel menye-menye hinaan dari Rea yang sudah biasa didapatnya. Memilih tidak ingin membalasnya, cowok itu beralih menatap pinggang Nata, lalu meringis. "Ngeri juga jahitannya. Sakit nggak, Nat?"
"Goblok." Nata memalingkan wajah, malas dengan pertanyaan retoris itu, dan lebih memilih menatap jemarinya yang bertaut dengan jemari Rea. "Ya sakit, lah."
Farel terkekeh. "Eh, Re, lo kalo mau pulang, pulang aja. Daripada ntar dicariin bokap?"
Nata menatap mata Rea. "Iya, pulang aja nggak apa-apa, kok, Sayang," timpal Nata, membuat tatapan Rea beralih ke arahnya. "Gue udah ada Dokter, suster, dan temen-temen yang lain, kok. Udah liat muka lo pas gue bangun aja udah bikin luka gue agak mendingan." Lelaki itu mengendus punggung tangan pacarnya sayang.
Mendengar kalimat receh Nata yang terakhir, sontak Farel berlagak muntah. Berbeda dengan Rea, gadis itu hanya memasang raut biasa saja, seolah kata-kata receh Nata sudah biasa didengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...