"SUMPAH? Lo lagi nggak bercanda, kan?"
"Ya menurut lo?"
"Kok, bisa kebetulan banget, ya? Ini bener-bener... kebetulan yang mengerikan, tahu?"
"Gue tadinya juga nggak tahu kalo itu Oma lo," jujur Nata. "Setiap gue ngikutin taksi yang Oma naiki dari belakang, gue mikir... kok arahnya sama kayak arah rumah Rea, ya? Tetangganyakah? Pembantunyakah?"
Rea meninju bahu Nata pelan sambil tertawa. "Heh! Lo sempat-sempatnya mikir kayak gitu!"
"Hahahahahaha! Ya maaf, Sayang." Nata mencubit pipi kiri Rea sekilas dengan gemas
"Orang tampang Oma gue mirip orkay gitu, dibilang pembantu, sih?"
"Hahahahaha!"
Rea memekik bahagia hingga suaranya menggaung di danau sepi itu. Nata membekap mulutnya membuat pekikan gila Rea terhenti.
"Heh, jangan teriak-teriak gitu! Ntar setannya pada bangun, loh!"
"Biarin!" Rea menjulurkan lidah singkat. "Gue lagi bahagiaaaa!" Kedua tangannya direntangkan.
Nata merasakan rahangnya pegal karena sedari tadi dibuat tertawa.
"Mungkin kalo bukan karena kebaikan lo... Oma ngeliat lo bakalan mikir kalo lo cowok yang nggak bener."
Satu alis Nata terangkat. "Keliatannya gitu?"
"Ya... dulunya, sih, gue suka mikir gitu." Memori otak Rea kembali diputar, matanya terpejam, mengingat masa awal-awal pertemuan mereka yang begitu lucu kalau diingat-ingat lagi. "Tapi... pikiran gue berubah saat gue sadar sama sisi baik lo. Ternyata, nggak semua anak geng motor itu jahat, ya? Terus... nggak semua cowok itu kayak Elang."
Nata sadar ada nada yang berbeda dari Rea saat gadis itu menyebut nama 'Elang'. Aura kebencian tampak pada rautnya.
"Lo kira dia sejahat itu?"
Rea menoleh bingung.
Nata menambahkan, "Ya emang gue nggak kenal deket sama Elang. Lo tahu? Almarhumah mantan gue nggak ada itu karena siapa? Ya gue nggak mau nyalahin Elang, sih, sebenarnya. Kejadiannya hampir mirip sama Karin. Queenza nggak ada karena dia sendiri yang memilih mengakhiri hidupnya. Yah, karena kelakuan bejat Elang juga."
Jeda.
"Nggak sampe di situ, ada yang bilang dia mati karena dibunuh sama Elang karena Elang juga pernah bunuh orang. Gue yang lagi emosi, jadi tambah makin menjadi-jadi. Gue ajakin dia adu balap. Kalo dia kalah, gue minta dia bubarin anggota geng motornya. Namanya geng Moonracker. Dan kalo dia yang menang, dia boleh dapetin apapun yang dia mau. Akhirnya, gue yang menang. Gengnya bubar."
Nama geng yang Nata sebutkan terasa asing di telinga Rea. Tapi Rea tahu Elang ikut geng seperti itu, hanya saja Rea sedari dulu belum mengetahui nama gengnya, dan baru mengetahui just now for Nata.
"Gue juga pernah nantangin Gen Petir. Gue menang, tapi nggak ada yang bubar. Gue kaget, sih, waktu itu Elang sama Ferdian kerja sama buat ancurin kita. Tapi gue lebih kaget kalo Ferdian ternyata dihasut Elang buat pura-pura minta maaf."
Tak habis thinking.
"Yah, emang kedengarannya bego karena gue percaya dia dulu, tapi ternyata itu semua hanya tipu. Gue sampe sekarang nggak ngerti kenapa Ferdian bisa sedendam itu sama gue. Padahal... dulunya kita baik-baik aja."
Nata menatap Rea. Rea masih menatapnya tanpa berkedip.
"Lo tahu, Re? Waktu gue ngeliat Elang meluk ibunya, gue jadi keinget ibu gue sendiri. Gue ngeliat Elang waktu itu tuh kayak ngeliat diri gue sendiri. Hubungan kita sama orangtua memang sama-sama renggang, tapi rasa benci terhadap ibu sendiri nggak akan ada artinya karena mereka tetep seorang ibu yang ngelahirin kita, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...