Chapter 32

1.7K 233 37
                                    

Suasana yang indah dan damai pagi ini sangat cocok jika digunakan untuk piknik maupun bersantai. Namun ketenangan itu tidak dirasakan oleh sebagian besar murid akademi Wilwatikta.

Pasalnya hari ini adalah hari diumumkannya poin keseluruhan yang mereka dapat dari ujian sihir yang mereka lakukan beberapa waktu lalu. Ujian sihir ini akan menentukan masa depan mereka. Berbeda dengan tahun lalu, tahun ini orang tua para siswa akan di undang untuk melihat pencapaian sang anak.

Jika sampai tidak mendapatkan poin yang memuaskan bukan hanya para siswa yang akan malu, tetapi orang tuanya juga. Ini pertama kalinya akademi berbuat hal demikian. Ini sebenarnya adalah ide dari EU agar para siswa tidak meremehkan ujian sihir tahun depan.

"Bagaimana ini... bagaimana ini.."

"Pales, sebenarnya ada apa denganmu?" Tanya Indo yang sudah lelah melihat Palestine mondar-mandir dari tadi.

"Huweee... Indo~ bagaimana ini, bagaimana jika aku sampai mengecewakan ayah..." Palestine tidak bisa membayangkan jika nanti ayahnya menatapnya kecewa karena nilainya yang rendah.

"Tenang saja, aku percaya pada kemampuanmu. Kau sudah berusaha dengan keras waktu itu." Ujar Indo menenangkan Palestine yang terlihat sangat frustasi.

Sebenarnya bukan hanya Pales yang terlihat frustasi, pagi tadi Indo melihat teman sekelasnya yang berteriak-teriak tidak jelas sembari memukul-mukul tembok. Sudah seperti orang gila yang kabur dari RSJ.

Teng

Teng

Teng

Suara lonceng akademi menggema diseluruh penjuru akademi. Inilah saat-saat yang menegangkan, pertaruhan hidup dan mati!

Indo dan Pales segera menuju ke Aula yang sudah disiapkan. Ketika mereka sampai di sana, sudah banyak siswa maupun orang tua siswa yang berdatangan. Palestine kemudian memisahkan diri untuk duduk di antara saudara dan ayahnya. Indonesia pun sama, ia langsung menuju ke tempat adik-adiknya berada.

"Kakak! Kakak tahu?! Kata ayah, poinnya akan diurutkan dari yang tertinggi sampai terendah, tidak peduli ia siswa tahun pertama maupun ketiga." Baru saja Indo duduk, Philippines sudah bercerita dengan semangat. Yang lain hanya memandang cemburu, pasalnya Indo memilih untuk duduk diantara Philippines dan Myanmar.

"Jadi poin ini tidak dihitung perkelas ya?" Tanya Indo. Tahun ini memang berbeda dengan tahun sebelumnya. Dari diwajibkannya ujian sihir yang dulu boleh tidak diikuti, di undangnya orang tua siswa untuk melihat perkembangan anaknya, maupun poin yang dihitung tidak perkelas melainkan seluruh siswa.



"Terima kasih saya ucapkan kepada para orang tua yang berkenan untuk hadir pada hari ini, saya juga berterima kasih kepada semua siswa yang berjuang dengan keras di ujian sihir tahun ini. Meskipun banyak kejadian yang kurang menyenangkan tapi saya harap itu akan menjadi pengalaman yang berharga bagi kalian kedepannya." Suara UN yang memberi kata sambutan terdengar.

"Dan ada yang ingin saya sampaikan dengan para orang tua. Jika anak kalian memiliki nilai yang rendah, Tolong jangan marahi apalagi sampai di hajar. Tidak semua anak itu sama, tidak semua anak itu harus menjadi nomor satu. Mereka memiliki kelebihannya masing-masing, dan ini hanya ujian sihir bukan ujian di bidang lain. Mendapat poin rendah di ujian sihir masih bisa untuk mendapatkan yang lebih di bidang lain." Kali ini ASEAN lah yang mengambil alih mic.

Ia sangat kesal, jika mendengar ada orang tua yang menghajar anaknya hanya karena tidak menjadi salah satu dari peringkat atas. Ingin rasanya ia menempeleng muka-muka orang yang tidak bisa bersyukur itu.

Aula seketika hening setelah ASEAN berbicara, namun tak lama satu suara tepukan tangan menggema di Aula yang sunyi itu. Pelakunya adalah Indonesia. Melihat ayahnya berbicara seperti itu membuat ia merasakan suatu kebanggaan tersendiri. Tak lama banyak tepuk tangan yang menyahuti, SEATO dari barisan gurupun mengacungkan jempolnya ke arah ASEAN.

EPISTROFI [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang