Menjalani hari pertama dalam hubungan baru, Saka masih cukup merasa asing dengan interaksi antara dirinya dengan Ary yang kini di balut hubungan asmara. Memang gaya bicara mereka masih sama. Saka yang tetap dengan nada kurangajarnya dan Ary dengan nada sopan namun kadang kelewat percaya diri ketika memuji diri sendiri. Hanya saja, beberapa kali Ary memang sengaja memberikan panggilan manis pada Saka yang sayangnya sering kena tegur oleh remaja itu. Ary bisa mengerti kenapa Saka bersikap demikian dan seolah tak suka saat Ary memperlakukannya dengan manis, apalagi jika mereka sedang di luar.
Hubungan mereka sangat riskan untuk mendapat gunjingan dari masyarakat awam. Bahkan Saka sering bersikap kasar pada Ary hanya untuk menutupi hubungan yang terjalin di antara mereka. Untungnya, sering kali orang-orang yang melihat bagaimana cara mereka berinteraksi hanya menganggapnya sebagai candaan antara kakak dan adik laki-laki yang sudah sangat di pahami jika beberapa kali ada pergulatan di antara mereka.
"Nanti malem saya nginep di rumah kamu ya? Udah izin juga sama tante Melly." ujar Ary setelah ia menurunkan Saka di depan sekolah.
"Terserah." balas Saka cuek.
"Saka, Bang Ary."
Kedua pemuda itu menoleh bersamaan ke arah Ica yang datang menghampiri mereka dengan senyum cerah, tapi Saka tahu senyuman lebar itu hanya tertuju pada Ary.
"Pagi Ica." sapa Ary dengan ramah. Saka melirik sekilas ke arah kekasihnya itu.
"Bang Ary sering banget nganterin Saka. Rumah kalian deketan ya?"
"Yaahh, gak deket juga sih. Cuma emang searah aja sekolah kalian sama pasar tempat saya jualan."
"Oh ya? Aku baru tau kalo pasarnya searah sini."
Sebenarnya Saka sudah malas mendengar obrolan Ary dan Ica. Tidak bodoh dirinya untuk tahu bahwa ia cemburu, hanya saja semua sandiwara yang ia buat harus terus berjalan.
"Yooo Saka!"
Saka menoleh ke arah Aji yang merangkulnya. Ada juga Dimas dan Rendi yang datang bersamaan.
"Eh, baru dateng lo pada. Tumben barengan?" tanya Saka basa-basi.
"Enggak, emang sengaja bareng sih. Eh, kok ... Lo sama ..." ucapan Dimas menggantung dengan mata yang melirik ke arah Ary. Rendi dan Aji pun demikian, namun tentu hanya Rendi lah yang tahu apa yang ada di balik Ary dan Saka meski kedua pemuda itu tak mengatakan apapun.
"Hm? Oohh, itu ... Dia nawarin buat nganter gue sekolah. Pasar tempat dia jualan searah sini katanya, jadi sekalian." jawab Saka dengan nada sedikit menyindir.
"Lo jualan daging bisa beli motor keren begini, Bang? Emang omsetnya berapa jualan daging?" tanya Dimas dengan nada heboh.
"Hahaha, yaah, lumayan sih. Ini juga belinya hasil nabung kok, jadi gak yang jualan untung gede langsung beli. Kan harus bagi hasil buat modal beli daging lagi buat di jual." jawab Ary merendah.
"Udah lah, kita masuk aja yuk. Hari ini jam pertamanya 'kan pak Giyono."
Saka berlalu begitu saja dengan ketiga temannya menuju kelas. Ia sudah tak peduli lagi dengan Ica. Sekarang ia sadar kalau gadis itu sangat memandang fisik.
"Kok tumben lo gak nempelin si Ica? Udah gak naksir?" tanya Rendi. Sebenarnya ia hanya ingin memancing reaksi kawannya itu.
"Enggak. Gue baru sadar kalo kemaren gue cuma kagum sama kecantikan dia doang, tapi makin ke sini gue sadar diri kalo Ica gak ada ketertarikan sama gue." jawab Saka enteng.
"Iyaa menurut gue wajar sih. Kalo di liat-liat si Ica kayaknya suka sama si Bang Ary. Lo emang kalah cakep dari dia sih, Sa." sahut Dimas yang langsung di hadiahi jambakan yang cukup kuat di rambutnya oleh Saka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tukang Daging Psikopat [Non kpop, No Edit] || SLOW UP
Ficción GeneralMimpi buruk seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun bernama Saka adalah saat ia menemani Ibunya belanja di pasar dan bertemu dengan seorang tukang daging yang sangat tampan. Awalnya ia pikir itu adalah anugerah, namun ia tak pernah meyangka bahwa...