31.

926 64 11
                                    

Suara desis wajan panas yang digunakan Ary cukup mampu mengisi kesunyian di rumah Saka. Mie goreng yang sedang Ary buat terlihat menggiurkan dengan aroma wangi yang semerbak, namun nampaknya Saka sama sekali tak berniat menanyakan bau lezat ap yang mengisi dapur rumahnya.

Ary mematikan kompor lalu memindahkan mie gorengnya ke atas piring. Ia tahu Saka tak akan mau masuk ke dapur, jadi dengan senang hati ia bawakan makan malam remaja itu ke ruang TV di mana Saka sedang menonton pertandingan tinju.

"Nih, makan dulu." ujar Ary sambil menyodorkan makanan yang di bawanya.

Saka melirik mie goreng yang masih berasap itu namun tetap menerimanya meski ogah-ogahan. Ia sudah tahu bagaimana Ary, jadi dirinya pun tak berani untuk memberontak jika tidak ada sesuatu yang memaksanya untuk melawan.

"Tadi yang di sekolah siapa? Temen baru?" tanya Ary membuka obrolan.

"Yang mana?" tanya Saka cuek lalu menyuap mie gorengnya.

"Tadi itu loohh, yang bilang kalo kamu gak mau pulang sama saya."

Saka hanya menaikan kedua bahunya acuh karena mulutnya sibuk mengunyah makanannya.

"Bener gak tau? Kok kayaknya dia protektif banget sama kamu?"

"Rendi yang kenal. Tanya Rendi aja." balas Saka masih dengan intonasi yang sama.

Ary hanya diam sambil menatap Saka di sampingnya. Ia memilih tak melanjutkan obrolannya dan mengganti saluran ke chanel lain, namun malah menemukan chanel berita yang menyampaikan berita soal anak seorang kepala kepolisian yang sudah 3 hari menghilang.

Berita itu tentu menarik perhatian kedua pemuda yang menontonnya. Jelas mereka sangat tahu siapa yang sedang di bicarakan di siaran itu, namun tentu keduanya akan diam.

Saka menoleh ke arah Ary yang juga sedang menatapnya dengan wajah datar namun sorot mata yang seperti mengancam.

"Kalo kamu bisa jaga rahasia ini, kamu bakal baik-baik aja. Gak perlu gubris soal masalah ini." ujar Ary seakan tahu kenapa Saka menatapnya.

"Kamu kemnain jasadnya Ica?"

Ary menggeleng pelan. "Bukan urusan kamu. Kamu gak perlu tau. Kamu cuma harus tutup mulut serapat mungkin, atau kalo kamu berani laporin hal ini, kamu juga bakal kena akibatnya."

Saka merubah ekspresinya menjadi ketakutan kemudian pergi ke kamarnya. Mengabaikan makan malamnya yang juga sudah jatuh berserakan di lantai karena ia tak memindahkannya ke meja.

Ary yang melihat itu pun hanya diam. Ia tak memberi ancaman yang berarti pada Saka karena tahu kalau remaja itu pun tak akan berani melakukan sesuatu yang akan menyeretnya pada hukum.

*************

Suara pintu rumah yang dibuka cukup mampu menarik perhatian Zakri yang sedang asyik bermain game di ponselnya.

"Tumben pulang cepet, Bang? Bukannya lagi ada kasus?" tanya Zakri pada sang kakak tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

"Ah, di kantor juga udah selesai kerjaan. Masalah kasus itu, yaa ... Mau di gimanain, ngejar pelaku 'kan gak segampang ngejar keong. Jadi mending balik gue." ujar pemuda 27 tahun bernama Leo itu.

"Hmm. Udah sampe mana perkembangan kasusnya?"

"Gak ada."

"Lah??"

Leo menghembuskan napasnya lalu duduk di sebelah sang adik kemudian melepas semua alas kakinya.

"Nyari anak ilang tapi beneran gak tau petunjuk apa-apa. Emang kadang-kadang orang punya jabatan tapi gak punya otak. Ngurus anak sendiri aja gak becus." Keluh Leo yang membuat Zakri tersenyum karena tahu siapa yang sedang di katai oleh kakaknya itu.

"Makanya gue gak bangga-bangga amat lu kerja jadi polisi." balas Zakri yang kini menyudahi acara bermain gamenya.

"Kesel banget gue anjir. Dia stress anaknya ilang pelampiasannya ke anak buahnya."

"Wajar lah, manusia suka begitu."

"Eh, tapi bentar deh..."

Leo menoleh ke arah sang adik lalu memasang wajah curiga.

"... Lo bukannya temen sekolah si Ica? Sama-sama anak IPA 'kan lo berdua?"

"Iya. Kenapa?"

"Lo gak tau dia ke mana?"

"Kalo gue tau kayaknya gue bakal petantang-petenteng ke kantor polisi terus ngasih tau semuanya habis itu minta imbalan satu milyar ke ortunya si Ica gak sih? Lumayan kan, kepala polisi banyak duit."

Leo masih memasang ekspresi tak yakinnya. "Masa sih lo gak tau?"

Zakri mendengus lalu memasang wajah santai. "Lo curiga sama adek lo sendiri? Lagian juga gue sama Ica gak deket sama sekali, jadi mana urus gue sama hidupnya dia."

"Tapi masa lo gak penasaran gitu ke mana temen lo berhari-hari gak masuk?"

"Ya elah Bang, anak IPA mana ngurusin temen sih. Kita mah temenan juga emang biar gak bosen aja. Si Ica ya sama tongkrongannya, gue sama gerombolan gue. Gak gue sama dia campur-campur."

Leo menganggukan kepalanya setuju. Ia juga dulu mengalami masa itu saat di sekolah. Anak pintar cenderung individualis dan tidak mau berurusan dengan kehidupan orang lain meski tidak semuanya begitu.

"Eh tapi, kalo gue gak salah denger ya, kayaknya si Ica tuh lagi naksir sama seseorang deh." lanjut Zakri sambil mengingat-ingat.

"Siapa?"

"Kalo gak salah ... Namanya Ari Ari gitu?"

"Oohh."

"Dan gue pernah liat orangnya."

Kalimat terakhir Zakri membuat Leo yang tadinya tak berminat untuk tahu urusan asmara orang lain menjadi antusias mendengarkan.

"Lo curiga kalo si Ica hilang karna gebetannya itu?"

Zakri sempat memandangi wajah kakaknya. Ia yang tadinya sedang duduk santai bersandar kini menegakan tubuhnya dan mencondongkannya sedikit ke arah Leo.

"Sebenernya, gue pernah liat si Ica terakhir lagi sama orang yang namanya Ari itu. Cuma gue beneran gak tau si Ica di bawa ke mana."

"Kenapa gak ngomong dari tadi?" tanya Leo kesal.

"Bang, lo mau kerja sama sama gue gak?"

Alis Leo mengerut. "Kerja sama apaan?"

"Kita keep info ini buat berdua dulu. Gue bantuin lo buat korek informasi sama jejak hilangnya Ica tapi lo jangan ngomong ke siapapun soal info ini. Begitu semuanya udah bisa gue buka, gue bakal bukain jalan seolah-olah jejak pelakunya udah ketahuan sama kepolisian, lo bisa laahh bantu-bantu buat hal itu."

"Terus untungnya buat lo apa? Lo bilang kerja sama?"

"Nah, nanti kalo penyelidikan buat buktiin si Ari itu beneran pelakunya, dia bakal jadi urusan lo ke depannya. Kenapa gue lepas soal si Ari? Karena sebenernya gue ngincer orang yang kayaknya juga deket sama si Ari itu."

"Jadi maksud lo, kita nangkep si Ari itu biar lo bisa nikung si Ari?"

"Kalo sampe si Ari itu terbukti bersalah 'kan gue gak nikung dong? Justru gue nyelamatin hidup orang lain 'kan?"

Leo mengangguk-anggukan kepalanya sambil memikirkan soal rencana adiknya.

"Lo tetep jalanin aja kayak biasa, tapi jangan ngomong apapun soal info dari gue karna kita belum tau si Ari ini orang yang kayak gimana."

Leo lagi-lagi mengangguk. "Iya iya. Gue percaya sama lo. Kalo ada apa-apa langsung ngomong ke gue."

Zakri hanya tersenyum sambil mengangkat ibu jarinya sebagai tanda setuju.

TBC

.

.

.

Manteman, jdi aku nih sekarang udh ada kerjaan (walaupun magang) jdi updatenya bakal lebih ngaret karna liburnya cuma sehari dan Sabtu Minggu aku tetep kerja. Makasih buat yg udh mau ngertiin😊

Tukang Daging Psikopat [Non kpop, No Edit] || SLOW UPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang