Terhitung sudah 3 hari sosok Ica tidak muncul di sekolah. Kedua orang tua Ica pun sudah mendatangi sekolah dan menanyakan keberadaan putri mereka. Namun jawaban dari pihak sekolah yang tidak memuaskan membuat kedua orang tua Ica, terutama Ayahnya, sangat marah dan kecewa.
Siang itu Zakri sedang iseng bersantai di koridor atas, tepatnya di lorong koridor untuk kelas IPS. Ia sebenarnya berniat untuk melihat Saka, namun keberadaan Rendi sudah seperti lalat pengganggu yang ke mana pun Saka pergi anak itu juga pasti mengikuti sehingga Zakri tak memiliki kesempatan untuk mendekati Saka.
Zakri melihat ke bawah, tepatnya ke arah lapangan sekolah di mana orang tua Ica sedang berjalan menuju pintu gerbang. Terlihat dari kejauhan bahwa raut muka keduanya nampak frustrasi bercampur kesal. Zakri tersenyum tipis, menyadari betapa lambatnya aparat keamanan negaranya. Bahkan sekelas kepala polisi seperti ayahnya Ica saja lambat dalam mencari keberadaan anaknya sendiri.
"Anak kalian gak mungkin masih hidup sih." celetuknya pada angin kosong yang berhembus.
Lirikan matanya tak sengaja melihat Saka dan ketiga temannya yang baru kembali menuju koridor kelas mereka. Tatapan Rendi adalah yang paling cepat menusuk niatannya untuk mendekati Saka. Namun apa pedulinya? Toh, ia tak pernah menganggap Rendi itu penting.
"Beli apaan tuh, Sa?"
Saka dan ketiga temannya kompak berhenti saat Zakri mencegat mereka di depan kelas. Aji dan Dimas saling berpandangan, sementara Rendi berdecak kesal dan Saka yang menatap bingung pada siswa di depannya.
"Cuekin aja, Sa. Gak jelas ni anak." ujar Rendi sambil mendorong sedikit tubuh Saka agar masuk ke dalam kelas.
"Haaahh ... Yaelah Ren, gue cuma mau kenalan sama temen lo doang kali. Emang salah kalo Saka nambah temen?" tanya Zakri dengan ekspresi malas karena terus di halang-halangi.
"Salah." jawab Rendi singkat dan mengajak teman-temannya masuk.
Zakri hanya mendengus lalu memilih untuk pergi setelah Saka dan teman-temannya berada di dalam kelas. Sementara itu, Saka yang masih tidak mengerti dengan keadaan pun mulai menanyakan tentang Zakri.
"Lo kenal anak tadi, Ren? Siapa? Kayaknya anak IPA ya?" tanya Saka.
"Kagak tau gue juga. Tiba-tiba aja dia nyamperin gue terus bilang dia mau kenalan sama lo."
"Terus kenapa gak lo kasih?" kali ini Aji yang bertanya.
"Gak papa, takut aja kalo itu anak ada niat terselubung ngedeketin Saka."
Aji mengangguk-anggukan kepalanya. "Iya sih, mukanya kayak om-om pedo begitu. Gak yakin gue kalo dia seumuran kita."
"Eh, nanti balik sekolah timezone lah. Udah lama kita gak jalan bareng, mumpung bentar lagi kita udah ujian kelulusan jadi puas-puasin dulu." ajak Dimas.
"Gue sih ayo aja. Kalian gimana?" tanya Aji.
"Gue ikut. Lo Sa?"
Saka melirik tak minat ke arah Rendi kemudian menggeleng. "Gue lagi gak mood main."
Rendi, Aji, dan Dimas saling bertatapan satu sama lain. Memang sejak pagi Saka terlihat sangat lesu dan tidak bersemangat. Entah apa yang terjadi dengan anak itu karena saat ditanyai jawabannya hanya gelengan kepala atau kata "gak papa" yang terus terucap dari mulutnya.
"Sa, serius gue tanya, lo kenapa? Kalo emang ada masalah cerita aja, atau justru kita-kita yang ada salah sama lo? Ngomong aja biar kita bisa bantu, atau kalo emang kita yang ada salah sama lo biar kita minta maaf." cecar Rendi. Ia sudah gatal melihat temannya itu tiba-tiba murung.
"Kalian gak ada salah. Gue gak mau cerita di sekolah, gue gak mau nangis di sini."
"Hah? Nangis kenapa? Kok harus nangis segala?"
Rendi menepuk tangan Aji yang ada di atas meja, memberi isyaray untuk tidak bertanya lagi setelah Saka menjawab.
"Yaudah kalo lo gak mau cerita sekarang, tapi plis nanti cerita ke kita ada masalah apa. Gue gak tega ngeliat lo kayak gini."
Saka hanya menganggukan kepala lalu memilih untuk menjatuhkan kepalanya ke atas lipatan tangan di atas meja. Ia lelah, namun rasanya juga tak ingin pulang ke rumah. Ia takut jika benar-benar harus tinggal dengan Ary selamanya.
************
Bel pulang sekolah berdering nyaring di seluruh penjuru lorong. Anak-anak yang sudah ditinggal gurunya pun langsung berhamburan keluar kelas untuk bergegas pergi meninggalkan gedung yang kerap membuat mereka jenuh.
Saka menghembuskan napasnya berat. Ia tak ingin pulang, apalagi kalau sampai Ary menjemputnya. Tapi pergi tanpa arah seorang diri pun rasanya sia-sia. Ibunya tak akan kembali dan dirinya pun juga hanya akan kebingungan mau melanjutkan hidup bagaimana.
"Ayo pulang, Sa." ajak Dimas.
Saka berjalan mengikuti ketiga temannya. Begitu mereka tiba di depan sekolah, sosok Zakri nampak sudah berdiri seperti sengaja menunggu Saka.
"Hai, Sa." sapanya sambil tersenyum.
Rendi lagi-lagi memasang wajah jengahnya. Heran sendiri kenapa anak ini begitu ngotot ingin berkenalan dengan Saka padahal sudah bisa dilihat dengan jelas kalau Saka sedang tidak mood untuk berinteraksi dengan siapapun.
"Lo mau ngapain lagi? Gak usah ganggu temen gue. Dia lagi gak sehat." ujar Rendi sinis.
"Oh? Saka sakit? Sakit apa?" tanya Zakri tanpa mempedulikan nada dan ekspresi Rendi.
"Ck! Bukan urusan lo." balas Rendi kesal.
"Ren, lo kenapa sih jutek banget gitu? Kayaknya ini dia juga cuma mau nyapa Saka aja deh. Gak usah galak gitu laahh. Kayak protektif sama pacar aja." tegur Dimas yang memang dengan kepolosannya tidak bisa membaca situasi.
"Nah, bener tuh kata temen lo, Ren. Gue cuma mau kenalan terus jadi temennya Saka kok."
Rendi mendengus dan tetap memasang wajah garangnya. Suara motor sport yang sudah cukup akrab di telinga mereka kini menjadi pusat perhatian.
Saka tahu itu Ary. Wajahnya seketika pucat dan tubuhnya menegang. Ia tak mau pulang dengan Ary.
"Sa? You okay?" tanya Zakri yang menyadari gelagat aneh dari Saka.
Ary melepas helmnya lalu turun dari motor untuk mendekati Saka. Ia sempat tersenyum, namun matanya melirik ke arah Zakri yang juga hanya menatapnya.
"Ayo pulang." ajak Ary seakan tidak mempedulikan keberadaan teman-teman Saka.
Saka sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Ia ingin menolak tetapi mulutnya kelu tak bisa bicara. Ingin memberontak pun tubuh kaku, dan takut itu akan memancing keanehan pada teman-temannya.
"Emm ... Bang? Kayaknya itu Saka gak mau ikut sama lo deh. Dia gak gerak tuh." ujar Zakri.
Rendi yang juga mendegar hal itu pun melirik tajam ke arah Zakri.
"Gak mau ikut? Dia tinggal sama gue kenapa gak mau ikut pulang?" tanya Ary dengan nada yang santai.
"Saka, ayo pulang. Kamu gak enak badan ya? Mukanya pucet gitu." ajak Ary dan kini ia menarik tangan Saka agar mau berjalan dengannya ke motor.
Dimas dan Aji yang memang tidak tau apa-apa hanya bisa saling tatap. Sementara Rendi merasa bersalah pada Saka. Ia tahu kalau Saka tak nyaman dengan Ary, namun ia tak bisa berbuat apa-apa sampai Ary sudah pergi meninggalkan sekolah.
Di sisi lain, Zakri yang melihat itu diam-diam menyunggingkan senyuman yang sangat tipis. Ternyata hasil pantauannya beberapa minggu ini membuahkan hasil. Ia hanya perlu bersabar sedikit lebih lama untuk menjalankan rencananya.
TBC.
.
.
Maap kelamaan mendekam di goa, tapi aku gak bakal fast up cerita ini karna ternyata susah bikin ceritanya shaaayy😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Tukang Daging Psikopat [Non kpop, No Edit] || SLOW UP
Ficción GeneralMimpi buruk seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun bernama Saka adalah saat ia menemani Ibunya belanja di pasar dan bertemu dengan seorang tukang daging yang sangat tampan. Awalnya ia pikir itu adalah anugerah, namun ia tak pernah meyangka bahwa...