Rendi mengetuk-ngetuk ujung pulpennya di atas buku tulis. Pelajaran geografi yang sedang dijelaskan gurunya sama sekali tak ia perhatikan. Sejak kedatangan Saka ke sekolah, anak itu sudah menjadi perhatiannya hingga sekarang ia harus bertukar kursi dengan Aji.
Hembusan napas pelan keluar dari celah bibirnya. Tangannya terasa sangat gatal ingin mengirim pesan pada Ary, menanyakan separah apa tindakan yang dilakukan lelaki itu pada temannya.
"Sa," panggilnya berbisik dan berusaha tidak mengagetkan Saka yang melamun sejak bel masuk berbunyi.
"Sa," panggilnya lagi saat teman sejawatnya tak merespon.
Rendi menghembuskan napasnya lagi. Ia sudah tidak tahan untuk tidak menghubungi Ary. Rendi berjalan mendekati gurunya lalu izin ke toilet dengan alasan sakit perut. Begitu mendapat izin ia bergegas pergi dari kelasnya, namun bukan ke toilet, tetapi ke atap sekolah.
Suasana sepi di jam belajar membuatnya merasa aman jika harus menelepon Ary. Rendi segera mendial nomor Ary dan tak lama terdrngarlah suara lelaki itu.
"Kenapa?"
"Lo apain temen gue sampe jadi kayak mayat hidup begitu?" cecarnya to the point.
"Di apain? Ya menurut lo?"
Rendi menghembuskan napasnya dengan kasar. "Jujur sama gue, lo habis apain si Saka? Dan kemaren waktu lo berdua sama Ica, lo ngapain aja?"
"Ngapain lo nanyain lonte itu? Dia udah mati."
Ekspresi wajah Rendi langsung berubah terkejut namun berhasil kembali di netralkan.
"Maksud lo?"
"Gak usah belagak tolol deh, Ren. Cukup Saka aja yang polos soal gue. Yaah, sekarang udah gak polos sih."
"Anjing! Lo bunuh si Ica?!" sentak Rendi namun dengan suara di pelankan.
"Yaah, habis gimana ya? Gak sengaja juga gue. Gue kira dia gak bakal mati kalo cuma di setrum."
"Sinting lo! Lo gak tau bokapnya Ica siapa? Dia bisa matiin lo juga!"
"Kenapa emang? Bokapnya polisi kah? Gak takut sih gue."
Rendi menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan kelakuan saudaranya itu.
"Kalo lo ketahuan gimana, Bang? Bukannya apa-apa, tapi--"
"Mau ketahuan atau nggak gue gak peduli. Udah lah Ren, lo mending lanjut awasin si Saka. Gue ada urusan."
Panggilan diputus sepihak oleh Ary. Rendi kembali menghela napas. Tak habis pikir dengan sifat Ary yang semakin menjadi-jadi setelah dekat dengan Saka. Ia bukan menyalahkan temannya itu, tentu Saka juga korban di sini.
'Tapi gimana bisa Saka jadi pemicu Ary makin gila? Apa sih yang di liat itu orang dari Saka?' batinnya kebingungan dan frustrasi.
"Telponan sama siapa tadi? Kok bawa-bawa anak kelas gue?"
Rendi menoleh ke balik punggungnya dengan cepat kala suara asing itu masuk ke telinganya. Sosok siswa yang tak ia kenal kini berjalan mendekatinya.
"Siapa lo?" tanya Rendi dengan wajah dan nada yang jutek serta perasaan waspada. Ia takut siswa itu mendengar perbincangan seriusnya dengan Ary yang mana membawa nama Ica di dalamnya.
"Oh, kenalin," ujarnya sambil mengulurkan tangan. "Nama gue Zakri, dan gue temen sekelasnya Ica yang lo sebut-sebut di telepon tadi." lanjutnya sambil tersenyum tipis.
Rendi melirik uluran tangan Zakri sebelum kemudian menerimanya.
"Hari ini si Ica itu gak masuk, dan lo telfonan sama seseorang terus nyebut-nyebut dia, kenapa? Lo telfonan sama siapa?" tanya Zakri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tukang Daging Psikopat [Non kpop, No Edit] || SLOW UP
General FictionMimpi buruk seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun bernama Saka adalah saat ia menemani Ibunya belanja di pasar dan bertemu dengan seorang tukang daging yang sangat tampan. Awalnya ia pikir itu adalah anugerah, namun ia tak pernah meyangka bahwa...