Bermalam di rumah Askha, Maisya tiduran di sofa panjang dialasi bantal sofa di sana. Sementara Alviar masih bercengkrama dengan Askha di tengah ruangan. Alviar sering berkunjung untuk menceritakan masalah kehidupannya pada Askha yang memang sudah menjadi rumah kedua bagi Alviar. Kehidupan yang selalu ditekan dengan kesempurnaan, yang tidak mampu dirinya wujudkan. Malah keadaan sebaliknya yang didapatkan Alviar, diperlukan seperti hewan buruan yang kapan saja dimangsa.
"Gue tau lo ke sini pasti ada maksud dan tujuan lain, cuma gak enak aja karena ada Maisya'kan," duga Askha.
Benar saja adanya Alviar ingin berkeluh-kesah, saat ini dirinya sudah muak di banding-bandingkan dengan saudara tirinya. Erick yang selalu lebih unggul dan dibanggakan keluarga. Dirinya hanya bisa menatap iri dan setiap dirinya melakukan kesalahan maka di pastikan hukuman akan menjadi hadiah yang akan Alviar terima. Berbeda dengan perlakuan yang didapatkan saudara tirinya yang begitu melakukan kesalahan mereka akan membujuknya untuk lebih tabah dan memberikan semangat agar berusaha lebih keras.
"Gue capek, Erick selalu lebih unggul dari hal apapun. Gue juga mau hidup tenang tanpa rasa ketakutan, rasanya gak ada gunanya hidup di dunia," ujar Alviar.
Maisya rupanya masih dalam keadaan terjaga dan belum sepenuhnya tertidur pulas sajak dari awal dirinya memilih untuk berpura-pura tertidur agar dirinya bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Dengan begitu Maisya bisa mengetahui segalanya dengan sendiri. Maisya sejak awal hingga akhir mendengar apa yang di katakan keduanya.
"Oke, gue paham," sahut Askha reflek memegang pundak Alviar.
"Shitss…, jangan di pegang bego," ringis Alviar.
"Kenapa lo di pukul lagi sama bokap lo?" tanya Askha.
"Udah tahu pakek nanya, iya kemarin malam gue di pukul gara-gara nilai gue di bawah Fanka. Bahkan Erick gak mau bantu gue dan malah ketawa di atas penderitaan gue" sahut Alviar.
Malam di mana Alviar di pukuli di sekujur tubuhnya, justru Erick'lah yang paling peduli karena Maisya paling tahu akan hal itu. Di sebuah ruangan kedap suara dengan pantauan kamera cctv, Erick memantau kegiatan ayah tirinya saat menyiksa Alviar.
Saat itu Alviar berjalan ke dalam ruangan yang remang pencahayaan. Atas perintah ayahnya sendiri. Sedangkan Erick tidak diperbolehkan mengetahui apa-apa. Walaupun demikian dirinya yang merupakan salah satu anggota Revlas yang dengan mudah membuat scurity yang menjaga tumbang dan dirinya diam-diam melihat semua rekaman yang di tampilkan diruang persembunyian ayah sambungnya itu.
Biasanya ayahnya menyebut tempat itu sebagai lorong kematian, karena rupanya bukan hanya Alviar saja yang di siksa di sana. Kebanyakan para musuh dan penghianat yang berani mengusik kehidupan keluarga Leonardl akan dipastikan kehilangan nyawanya.
Cambukan, pukul dan tamparan hanya itu di setiap hari yang Alviar dapatkan. Terkadang dirinya juga mendapatkan luka tembak dibeberapa titik pada tubuhnya.
Sekarang, seorang laki-laki terus saja melihat kejadian itu di balik layar cctv menatap mirisnya kehidupan Alviar. Dia adalah Erick yang selalu di nilai sepele bahkan sebelah mata oleh Alviar. Diam diam dirinya mengirimkan tayangan cctv kepada seseorang saat itu. Dan orang itu tidak lain adalah Maisya. Erick sebenarnya sangat peduli pada Alviar, karena baginya tidak ada alasan untuk membenci Alviar walaupun terkadang pertengkaran selalu menjadi bumbu bagi mereka.
Malam itu Erick segera menghubungi Maisya setelah mengirimkan rekaman video pada Maisya. Berharap ada titik terang untuk keberlanjutan soal janjinya.
"Queen of the Revlas. Ah, gue lupa lo udah udah putus sama Fauzan. Gue mau nagih janji lo buat nolong Alviar, masih inget kan dengan tawaran lo,"ucap Erick.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAISYA ADELLA (On Going)
Short StoryJangan hanya melihat covernya sebelum mengetahui isi dari sisi baik dan buruknya seseorang. Ini kisah Maisya Adella, tentang persahabatan cinta dan penghianatan juga dunia yang di penuhi kegelapan. Misteri kematian dan kisah cinta yang sungguh memua...