Bab 7 - Polhut

351 32 4
                                    

Aris sudah berbaur dengan para pemanggang lemang menggantikan Apek yang sudah pergi entah kemana, namun tiba-tiba Dangruni Naras menghampiri.

"Bang Aris, Dang Ruis, dipanggil Apak" ujar gadis cantik itu, beberapa lelaki seketika memandang kagum terhadapnya, namun tak berani jahil terhadap putri pemimpin mereka itu. Dangruni sendiri setelah menyampaikan pesan segera melangkah ke jurusan lain dimana para ibu sedang mengulek bumbu.

Aris pandangi Ruis yang langsung mengangguk. Keduanya menuju ke halaman depan rumah.
Tuk Dampo tengah bercakap dengan dua lelaki yang sepertinya sebaya dengan Tuk Dampo.

"Ah itu dia, nak Aris kesini" panggil Tuk Dampo dengan akrabnya.

Aris dan Ruis mendekat, begitu tiba seorang dari teman Tuk Dampo berkata.
"Juar igin uraknya?"

Tuk Dampo tersenyum. Sumpah Aris benar-benar kesal jika harus menimbrung bersama orang-orang yang tidak dia pahami bahasanya.

"Aris, kenalkan ini Tuk Dame Sigar dan Tuk Dame Larak. Mereka wakil saya mengurus hulu dan hilir lembah"

Aris terperangah karena berkenalan dengan dua tokoh penting Lembah Tarang lainnya. Aris membungkuk dan menyalaminya dengan hormat.

"Dia apak saya, bang!" Ucap Ruis saat Aris berjabatan tanga dengan Tuk Dame Sigar.

Dame Sigar malah menarik Aris kepelukannya seraya menepuk-nepuk punggungnya dengan akrab.

"Langkar banar. Buat mantat aku aga kawa gah?" Kelakarnya, terdengar tawa ketiga tetua, sedangkan wajah Ruis memerah, Ruis sendiri akhirnya cengengesan. (Gagah benar, buat anak aku saja bisakah?)

"Tadek kawa baigut" celetuk Tuk Dampo. (Mana bisa begitu)

"Oh iya Ruis, Tuk bisa minta tolong?" Tiba-tiba Tuk Dampo berucap kepada Ruis.

"Dengan segala hormat Tuk" terima Ruis, dia siap menerima perintah.

"Kamu bawa kereta anginkan? Tolong sampaikan undangan ke Apak Polisi di pos buat syukuran disini nanti malam" bunyi perintah itu.

"Siap laksanakan Tuk" sigap Ruis.

Entah mengapa di mata Aris, Ruis terkesan lebih hangat dibanding Apek.

Tiba-tiba Ruis berpaling kepada Aris.
"Undak umpat gah?"

Karuan saja Aris celingukan tidak mengerti.

Ruis menepuk jidat, lupa kalau Aris tidak bisa bahasa Tarang, habisnya tampilan Aris sekarang dengan pakaian adat membuatnya tak terlihat berbeda dengan pemuda Tarang yang lain.
"Mau ikut?" Tawarnya dengan meralat ajakannya dengan bahasa Indonesia.

"Ikutlah! Kau akan melihat banyak keindahan Tarang sepanjang perjalanan nanti" bijak Tuk Dampo.

Aris mengangguk, namun dia izin buat mengambil kamera dan ponselnya terlebih dahulu di kamar.
Setelah mendapatkan benda itu, Ruis dan Aris berjalan bersama menuju luar pagar rumah panggung, ada sebuah sepeda tua di sana.

"Kita naik sepeda?" Tanya Aris.

Ruis mengangguk.

"Aku baru tahu kalau di lembah Tarang boleh ada sepeda" ucap Aris pula. Dia pikir segala hal benda teknologi apalagi transportasi modern tidak boleh ada di desa. Tapi dia salah.

"Saya tahu apa yang Abang pikirkan, awalnya juga banyak yang tidak setuju akan keberadaan sepedaku ini. Sewaktu aku sekolah di kota dulu sepeda ini pemberian ayah angkat ku disana. Walau sepeda tua dan ketinggalan jaman tapi aku sangat menyayanginya. Bukan karena bagus atau mahalnya, tetapi karena kenangannya"

Aris mengangguk mengerti, sepeda ontel ini pasti menjadi saksi perjuangan Ruis dalam menuntu ilmu.

"Nah begitu saya selesai SMA, ayah angkat saya meninggal, sepeda ini kenangan darinya makanya saya bersikeras membawa sepeda ini masuk ke desa Tarang. Penduduk banyak yang marah, beruntung Apak aku seorang Tuk Dame, dan dengan bantuan Tuk Dampo juga berhasil meyakinkan penduduk kalau sepeda ini akan punya banyak manfaat. Salah satunya mempercepat urusan jika ingin menyampaikan berita atau kabar ke pos polisi hutan. Lagipula sepeda tidak menyebabkan polusi" tutur Ruis seraya menaiki sepedanya. Lelaki itu memberi isyarat kepada Aris untuk duduk di belakangnya.

Ksatria Lembah Tarang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang