Bab 34 - Selamat

547 50 6
                                    

Lembah Tarang selamat dari kutukan dan bencana, dengan haru dan penuh rasa syukur para penduduk yang selamat mengaturkan rasa terima kasih kepada Ambata. Bagi yang gugur dalam musibah itu, mereka akan dikuburkan secara ksatria. Sedangkan jasad Flora, sesuai hukum adat maka jasad perempuan jahat berilmu hitam itu harus dibakar dan abunya ditaburkan ke air.

Meski kebanyakan penduduk bersuka cita mensyukuri keselamatan mereka namun Tuk Dampo tidak, sebelah matanya buta karena terkena cakaran harimau jejadian, namun lelaki itu sedang tidak menghawatirkan mata kirinya, melainkan menghawatirkan keselamatan Apek yang keracunan.

Apek sedang dibaringkan di dalam balai adat, Tuk Rakeh sedang berusaha keras untuk mengibatinya dengan ramuan tradisional.

"Maaf, Tuk! Sepertinya tidak berhasil!" Tuk Rakeh menggeleng lemah. Ramuannya belum menunjukkan reaksi apapun pada Apek yang masih koma.

"Andai saja cawan sakti penangkal racun tidak hilang?" Sesal Tuk Rakeh saat teringat benda keramat yang hilang beberapa tahun lalu.

Suasana mendadak hening, meski Apek keras kepala dan sering mengecewakannya namun Tuk Dampi tak ingin anak laki-laki tersisanya itu mati. Dia benar-benar menyayangi anak bungsunya itu sebagai pewaris kepemimpinannya. Sementara hujan masih belum mau berhenti.

"Berapa lama Apek bisa bertahan, Tuk?" Tanya Tuk Dampo dengan suara bergetar.

"Jika sampai tengah malam nanti kita tak dapat menemukan penawar, maka nyawa Dang Apek..."

Belum sempat Tuk Rakeh meneruskan ucapan, istri Tuk Dampo dan Dangruni sudah menangis tersedu-sedu sambil memeluk dan memanggili nama Apek. Tuk Dampo juga tak kuasa menahan tangis. Dia cuma mampu menerawang jauh lewat pintu Balai Adat yang terbuka lebar, menatap hujan masih terus mengguyur lembah Tarang.

Menjelang senja hujan akhirnya berhenti. Api yang membakar benar-benar telah padam. Sesekali anak-anak kecil Tarang berteriak histeris saat melihat ada beberapa helikopter yang berpatroli lewat di atas kampung. Pemandangan yang asing bagi anak-anak itu. Helikopter itu berpatroli untuk memastikan titik-titik api telah padam atau masih ada yang tersisa.

Saat itu, penduduk lembah pun kedatangan para polisi hutan, beberapa di antaranya sedang menandu Aris dan Dika.
Mereka pun lekas memberikan pertolongan.

Tuk Dampo dan petinggi lainnya lekas mendekat dan memerintahkan agar Aris dan Dika dibawa ke dalam balai adat. Keduanya dibaringkan di dekat Apek.
Aris sudah pingsan karena kekurangan darah. Hanya Dika yang masih sadar sambil menahan sakit di sekujur lebam tubun.

Tuk Dampo memandang ngeri pada luka di pergelangan tangan Aris.

"Apa yang terjadi?" Tanya Tuk Dampo.

"Kami melawan perempuan harimau, Tuk! Aris berhasil membunuh perempuan harimau itu!" Jawab Dika yang sedang diberi perawatan yang lebih baik.

"Hah! Mahiyang telah mati!" Ucap Tuk Dampo dan dua Tuk Dame bersamaan.

"Benar! Kami menyaksikan sendiri, perempuan itu kini tergantung tertancap di pohon. Kami menyesal, ternyata satu anggota kami ikut terlibat dalam kejahatan ini. Biarlah kami yang memberikan hukuman setimpal!" Ucap Pak Komandan.

Saat itu pula masuk seorang polisi hutan lainnya, Akmal!
"Lapor! Saudara Robi telah bunuh diri sesaat setelah melihat jasad Flora yang dibiarkan di tengah lapangan!"

Pak Komandan pun lekas keluar buat memeriksa keadaan anak buahnya yang bunuh diri itu.

Tuk Dampo memandang bergantian wajah Aris dan Apek secara bergantian. Hingga matanya kembali membentur luka di tangan kiri Aris.
"Apa yang terjadi pada tangan kiri Nak Aris? Itu bukan gigitan harimau kan?"

Ksatria Lembah Tarang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang