Bab 43 - Pesta Yang Kacau

158 20 2
                                    

Dua pria di sebelah Apek tak berani berkata apa-apa saat Apek meminta mereka menuju satu alamat yang tertera di undangan sobek yang ditemukannya. Marot juga terkejut saat tahu undangan itu memuat foto Aris bersanding dua dengan seorang perempuan yang menggendong anak kecil.

"Ajig ikau, Dang! Bani banar ikau paadu urakng laen!" Sedangkan Apek terus menerus menyumpah dalam Bahasa Tarang. (Anjing kau, Dang! Berani benar kau menikahi orang lain).

"Hite haja! Kan ku kayau uyat ikau punye dara!" (Lihat saja! Kan ku penggal leher perempuanmu!), Apek masih belum dapat mengendalikan emosinya.

Sedang Mang Abid dengan sedikit takut mengemudi mobil pick-up itu menuju alamat yang ada di surat undangan.

Marot ingin menenangkan Apek, namun lelaki ini terkejut tatkala melihat Apek sudah mengeluarkan sebilah belati kecil dari saku celana dan dengan ujungnya dia menggores kulit telapak tangan kirinya. Darah Apek pun bercucuran tepat di atas foto sepasang suami-isteri di surat undangan itu. Mulut Apek mulai membaca mantera.

Marot memucat, Apek sedang membaca satu mantera jahat yang biasa dibacakan orang-orang Tarang saat dikhianati oleh sang kekasih yang sudah dijodohkan.

"Dang!" Tegur Marot takut-takut.

"Diam kau!" Maki Apek, kemudian mata Apek mulai nyalang aneh, bagian hitam matanya lenyap ke atas hingga untuk beberapa saat mata Apek hanya terlihat bagian putihnya. Nuansa angker pun tercipta.

"Dia, dia kenapa?" Tanya Mang Abid takut-takut, tangannya bergetar saat memegang kemudi.

"Tenang, Mang! Dia tidak apa-apa!" Marot menenangkan Mang Abid.

Mobil pick-up itu pun terus berjalan membelah padatnya jalanan kota.
***

Sementara itu di waktu yang hampir bersamaan, di lokasi pesta terjadi kehebohan di dapur.

"Kenapa, Tante?" Tanya seorang tetangga pada salah seorang keluarga ahli bait yang sedang memasak nasi.

"Ini aneh sekali, kenapa nasinya belum tanak juga?" Heran si Tante.

Sang tetangga yang penasaran menjumput sedikit nasi dengan sebuah sendok dan mencicipi. Masih rasa separuh beras.
"Iya ya, aneh, padahal seharusnya sudah mateng sedari tadi."

Tak hanya nasi, namun juga gulai ayam yang siap disajikan mendadak basi, pun demikian dengan rendang daging yang tahu-tahu sudah berjamur dan dihinggapi lalat.

Lama-kelamaan kejadian itu meresahkan ahli bait, mana tamu mulai ramai pula yang datang.

Aris dengan dibantu Dika dan Budi yang bergantian mendorong kursi roda juga sudah turut memantau kehebohan di dapur itu.

"Seumur-umur ikut rewang di pestaan, baru kali ini mengalami kejadian aneh ini!" Bingung beberapa orang tetangga yang kelimpungan melihat hidangan yang mulai membasi.

"Bagaimana ini, Nak?" Tanya sang ibu yang gelisah. Pak Hermanto juga mati akal.

Aris yang sudah keserapan kepandaian Raja Agia mendapat bisikan bahwa pesta itu kacau karena telah diguna-guna. Sekaligus diberi pula cara menangkalnya.

"Jangan khawatir pak, ada yang bermaksud kurang baik pada keluarga kita. Untuk sementara kita terpaksa mengganti hidangan untuk tamu dengan membeli dulu dari rumah makan terdekat," usul Aris.

Pak Hermanto langsung setuju, dia memanggil beberapa pemuda buat membeli makanan sebanyak mungkin dari rumah makan terdekat. Rugi rugilah! Yang penting pesta dan nama baik keluarganya selamat di depan tamu.

Selanjutnya Aris meminta dibawakan sejumlah rempah, seperti lada, bawang, cabai, jahe, kunyit dan juga telur ayam kampung. Benda-benda itu dibagi empat bagian dan tiap bagian dibungkus dengan kain putih.
"Lekas tanam di empat jurusan rumah!"

Ksatria Lembah Tarang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang