Bab 42 - Surat Undangan Yang Sobek

361 39 9
                                    

Kembali pada Apek.
Untuk beberapa hari, Apek dan Marot menumpang di rumah Nek Jamilah sembari menunggu luka di tubuh mereka sembuh. Selama tinggal di rumah Nek Jamilah, kedua pemuda yang dasarnya suka bergotong royong ini membantu Nek Jamilah mengurus warung nasinya yang sederhana. Siapa sangka, ternyata kedua pemuda ini membawa hoki bagi si nenek, terutama Apek. Banyak pelanggan baru warung itu dari kaum hawa. Semua karena merasa tertarik akan kegantengan Apek.

Suatu malam saat Marot sudah terlelap tidur, Apek masih terjaga, dia duduk bengong di kursi teras depan rumah Nek Jamilah. Apek bingung kemana lagi harus mencari Aris. Para preman telah membuang mereka ke luar kota. Sebenarnya Apek ingin mencari Aris sekali lagi ke rumah dinas orang tuanya, siapa tahu Aris sudah pulang. Namun tentu saja itu pakai biaya, sedangkan duit mereia sudah ludes tanpa sisa dirampas preman. Kalau sudah teringat akan hal itu Apek pun menyumpah memaki-maki.

Nek Jamilah yang ternyata belum tertidur melihat bayangan Apek di luar jendela. Maka perempuan tua yang bijaksana inipun menemui Apek di depan rumah. Telah lewat seminggu Apek dan Marot menumpang, namun Nek Jamilah belum tahu benar asal-usul kedua lelaki ini. Setiap ditanya mereka datang dari mana, pasti selalu menjawab dari kampung terpencil yang jauh.

"Kok belum tidur?" Tegur Nek Jamilah.

Apek terkejut mendengar teguran itu, Apek menoleh pada perempuan tua yang telah menolongnya.
"Saya belum mengantuk, Nek."

"Pasti ada yang kamu pikirkan? Ayo cerita sama Nenek! Siapa tahu nenek bisa bantu?!"

Apek sedikit ragu buat menceritakan masalahnya namun setelah berpikir dalam-dalam tak ada salahnya dia cerita pada Nek Jamilah.
"Terus terang saya dan Marot ke kota karena ingin mencari seseorang."

"Lantas, sudah ketemu?"

Apek menggeleng lunglai.

"Tahu alamatnya?"

Apek menghembuskan nafas lesu, "Kami cuma dapat alamat orang tuanya, tapi dia tidak tinggal di sana."

"Kenapa tidak minta sama orang tua orang yang kau cari itu, Nak?" Nek Jamilah tertarik akan cerita Apek, dia pun turut duduk di depan Apek.

"Orang tuanya juga belum sempat kami bertemu, Nek. Sewaktu kami ke sana orang tuanya sedang tidak ada di rumah. Mereka pejabat."

"Oalah, pantesan. Pejabat itu selalu sibuk, Nak. Sering melakukan perjalanan dinas."

Apek mengangguk membenarkan, "Sebenarnya aku telah mendapatkan nomor handphone orang yang ku cari, namun ternyata kami malah kerampokan. Handphone di mana nomor itu tersimpan lenyap."

Nek Jamilah lekas mengelus-elus pundak Apek saat melihat oemuda itu unjukkan raut sedih.
"Sulit memang mencari seseorang yang tidak diketahui alamatnya, apalagi di kota besar yang penuh dengan umat manusia."

"Itulah yang saya pikirkan, Nek. Kami dikejar waktu juga. Kata ayah kalau dalam dua bulan saya belum menemukan orang itu, maka saya tidak akan dianggap anak lagi. Saya tidak boleh pulang tanpa membawa serta orang itu."

Semakin ibalah Nek Jamilah, "Kog begitu? Memangnya siapa yang sedang kau cari, Nak?"

"Calon istri!" Jawab Apek mantap, dia benar-benar sudah bertekad akan menjadikan Aris sebagai pendamping hidupnya.
"Kami sedang ada masalah, jadi calonku itu meninggalkanku di kampung."

Nek Jamilah manggut-manggut. Perempuan ini juga turut memikirkan jalan keluar buat Apek.

"Saya ingin mencarinya kembali ke kota, tapi terus terang saya tidak punya uang sepeser pun. Sedangkan untuk ke kota, kami perlu ongkos dan juga biaya kebutuhan sehari-hari."

Ksatria Lembah Tarang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang