Bab 31 - Mencegah Aris

202 26 0
                                    

Empat kuda yang dipacu kencang itu terus melesat, derap kakinya menimbulkan suara bergedebuk yang riuh. Empat lelaki tua yang menjadi penunggang diam-diam merasa putus asa. Sudah lama mereka mengejar namun Aris dan Dika tak kunjung kelihatan, akhirnya di satu kesempatan mereka berhenti.

"Sudah sejauh ini namun nak Aris tak kunjung tersusul," keluh Tuk Dame Hulu, nafasnya mulai menyengal. Telapak tangan sudah sibuk mengusap muka buat menghalau keringat.

"Wajar, nak Aris yang sekarang bukan nak Aris yang dulu. Secara tak sadar dia telah mewarisi ilmu kebatinan milik Raja Agia," menimpali Tuk Dame Hilir.

"Celaka! Jika Aris benar-benar pergi tanpa terlebih dahulu menikahi Ruis maka lembah ini benar-benar diambang malapetaka," cemas Tuk Dampo, kemudian dia beralih kepada Tuk Rakeh yang sedari tadi memandang cermat jalan tanah di depan mereka. "Atuk! Lakukan sesuatu!" Pintanya pada orang tua yang merupakan pendeta suku Tarang itu.

Tuk Rakeh mengangguk, matanya yang tajam serta sarat akan pengalaman, dengan ilmu kesaktian dapat melihat bekas jejak-jejak kaki Aris dan Dika. Lelaki tua itu mendekati salah satu bagian tanah bekas jejak yang paling jelas. Dari dalam kantong kain yang selalu dibawanya ke mana-mana, Tuk Rakeh mengeluarkan sebuah tusuk dari bambu kuning sepanjang sejengkal. Mulut lelaki tua ini komat-kamit membaca mantra lalu tusuk bambu itu ditancapkan tepat dibekas jejak kaki Aris hingga amblas.

"Aku telah mengunci langkah Aris! Selama bambu ini tidak tercabut maka dalam waktu satu minggu ke depan Aris tidak akan dapat meninggalkan lembah. Ayo kita lanjut mencarinya! Firasatku mengatakan dia tak jauh lagi dari sini!" Tuk Rakeh duluan melompat ke atas kuda, tiga Atuk yang lebih muda itu mengikuti. Empat ekor kuda kembali berpacu dengan waktu buat mencari keberadaan Aris. Saat itu pula ada petir yang menyambar di siang bolong. Tanpa mendung, tanpa tanda-tanda akan turunnya hujan. Gelegar petir itu semakin membuat para Atuk yang mengejar Aris kembali rasakan hati menjadi tidak tentram, petir itu adalah pertanda buruk bagi suku Tarang.
***

Di dalam goa rahasia, Mahiyang ibu dari Flora sedang asik bergumul dan bercumbu dengan Robi. Polisi hutan ganteng yang merupakan kekasih gelap dari Flora, anak dari Mahiyang sendiri.

"Bagaimana sayang? Lebih nikmat tidur denganku atau dengan Flora?" Tanya Mahiyang cabul di tengah gempuran permainan liar Robi.

"Terus terang lebih enak denganmu, lebih mendebarkan!" Jawab Robi dengan sedikit mengerang, dia memang tengah dihamun rasa nikmat tak tertahankan. Nikmat yang membuatnya tak letih mengayuhkan pinggul.

Mahiyang tertawa cekikikan, "Kau tak takut Flora mengetahui hubungan terlarang ini?"

"Masa bodoh! Flora juga sering menggoda laki-laki lain, kenapa aku tidak boleh?" Sanggah Robi, bersamaan itu dia menukar posisi, tanpa mencabut 'miliknya', dia membalik Mahiyang agar perempuan itu yang ada di atas, dia ingin gaya 'women on top'.

Mahiyang dengan senang hati menggeal-geolkan pinggulnya yang terus saja melahap kejantanan Robi tanpa ampun. Robi cuma bisa merem melek sambil meremas-remas payudara Mahiyang. Meski sudah berumur namun Mahiyang tubuhnya masih padat dan menggairahkan.

"Robi, kau lelaki paling perkasa yang pernah kucumbu, berjanjilah selalu siap sedia buat menggagahiku kapanpun ku butuh!" Racau Mahiyang dengan tubuh bergoyang-goyang.

"Boleh, asal harta karun yang nanti kita dapatkan dibagi dua sama besar, separuh buatku dan sisanya untukmu," jawab Robi.

"Jangan khawatir! Aku tak akan ingkar janji!" Tegas Mahiyang.

Kedua orang itu kembali melakukan permainan panas hingga mencapai puncak, beberapa menit setelah persetubuhan itu usai, Mahiyang pun mendengar suara gelegar petir di siang bolong.

Ksatria Lembah Tarang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang