Bab 6 - Gotong Royong

354 32 2
                                    

Tetiba di rumah Tuk Dampo ternyata telah ramai, penduduk lembah Tarang telah sibuk bergotong royong, tiga ekor kerbau telah disembelih ternyata, dan kini tengah dicincang oleh beberapa orang. Ibu-ibu sibuk mengupas rempah buat dijadikan bumbu. Beberapa pemuda Tarang sibuk memarut kelapa.

Aris segera memutar mata mencari-cari keberadaan Apek, ketemu. Ternyata Apek tengah berada di antara para pemuda yang sedang memanggang lemang.

Aris melangkah kesana, dia sendiri tidak tahu motivasinya apa untuk selalu berada di dekat Apek, sudah seperti satelit saja yang harus mengorbit tidak jauh-jauh dari bumi. Dika bermaksud ingin mengekori namun Marot cepat menariknya.

"Apaan sih Rot? Selalu saja kau menghalangiku buat mengikuti Aris" jengkel Dika.

"Sudah, nurut saja! Biar Dang Apek dan Aris makin dekat" ujar Marot.

Karuan saja Dika menjadi semakin heran, gay radarnya langsung mereaksi.
"Marot ini Fudankah? (Fujisho versi cowok). Kenapa dia sepertinya ingin mencocokkan Aris dengan si Apek?" Bingung Dika di dalam hati.

Selagi Dika kebingungan Marot telah menariknya ke kelompok pemuda yang bertugas memasak dodol.

Dengan sedikit gugup Aris mendekati Apek yang tengah mengaduk bara pemanggang lemang. Apek melirik sebentar kearahnya.
"Mau apa kau kemari?"

Beberapa pasang mata melihat kepada Dangraka mereka dan Aris secara bergantian dengan mimik muka kebingungan. Sepertinya mereka tidak mengerti bahasa Indonesia.

"Emmm, mau ikut membantu" ucap Aris.

"Memangnya kau tahu memasak lemang?"

Aris mengangguk, dia juga pernah melakukan hal ini saat mudik ke rumah neneknya di kampung.

"Tidak usah! Sudah kebanyakan orang disini! Lebih baik kau bantu yang buat dodol sana!" Perintah Apek.

Perintah yang justru ditangkap oleh otak Aris sebagai cara buat mengusir. Aris merasakan kecut.

Aris pun menggigit bibir, segera dia berpaling.
Tiba-tiba ada yang menegur.
"Pek, jangan begitu!"

Baik Aris maupun Apek menoleh ke asal suara. Ternyata Tuk Dampo yang menegur barusan, lelaki paruh baya itu berdiri diatas tangga dapur.

"Apak, aku huan bahaning. Pulang tadek huan diarsak" ucap Apek dengan nada menahan kesal. (Ayah, aku ingin tenang. Lagi tidak ingin diganggu).

Tuk Dampo menghela nafas, lalu pandangannya beralih kepada Aris, terhadap pemuda itu lelaki ini lambaikan tangan memanggil.

"Nak Aris, ayo sini naik. Temani Tuk sebentar!" Ajaknya ramah.

Aris kembangkan satu senyuman, dia naik ke dapur. Tuk Dampo cepat menyambutnya dengan memegang kedua bahu dan menepuk-nepuk penuh bahagia. Tanpa diketahui Aris, Apek sedang memperhatikan dari bawah.

"Jangan dimasuki ke hati ucapan Apek. Terus terang dia cuma kesepian saja, sejak abangnya yang bernama Tala kabur dari desa, dia jadi anak yang ketus dan pemurung. Agaknya dia belum bisa menerima takdir kalau dialah kini yang mesti meneruskan tugas Atuk nanti memimpin lembah ini" sambil mengajak Apek masuk ke rumah Tuk Dampo bercerita.

Tuk Dampo membawa Aris ke dalam satu kamar yang sepertinya tidak di tempati, di sisi kanan rumah panggung besar itu. Aris takjub dengan kamar itu, dindingnya dilapisi anyaman bambu dengan motif-motif khas suku Tarang.

"Tuk, boleh saya mengambil foto motif itu?" Izin Aris.

"Silahkan! Anggaplah rumah Atuk seperti rumahmu sendiri nak Aris"

Aris segera memotret motif-motif itu. Ada yang berbentuk burung, ada yang berbentuk bunga.

"Itu burung Sriganti, burung pemakan madu. Dan itu bunga pacar air" jelas Tuk Dampo.
"Motis burung itu kami menyebutnya dengan Arung Awang, sedangkan motif bunga itu kami menyebutnya Elok Bhumi"

Ksatria Lembah Tarang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang