Bab 45 - Makna Peta

252 26 6
                                    

Tikar telah digelar, sofa tamu tak cukup untuk menyambut tamu-tamu istimewa Tala, terlebih salah seorang tamu adalah adik kandung yang telah lama tak bersua. Agar dia lebih leluasa berlepas kangen dengan sang adik, Tala mengupah seorang anak tetangga untuk menjaga kiosnya.

Aris, Dika, Budi, Kirana, Marot, Apek dan Tala sendiri, semuanya duduk akrab di atas tikar yang digelar. Di tengah-tengah mereka tersaji aneka panganan, kebanyakan sejenis keripik dan kue-kue, sengaja diambil Tala dari barang dagangannya.

Apek dan semuanya sedang mendengarkan penuh hikmat kisah Tala saat keluar dari Lembah Tarang.

"Menjadi orang buangan, bagi seorang lelaki Tarang benar-benar sangat menghancurkan hatiku, tapi aku tak punya pilihan lain. Apak bersikeras menjodohkan saya dengan anak perempuan dari Tuk Dame Hilir untuk mempererat persaudaraan di antara para datuk. Tapi yang namanya cinta kita tidak bisa pilih-pilih kan? Aku terlanjur cinta pada Raihana, seorang guru relawan yang telah menarik hatiku pada pandangan pertama. Dia perempuan yang baik, keibuan, dan bisa membuat aku nyaman," sepasang mata Tala berkaca-kaca saat mengenang mendiang istri.

"Dia perempuan yang aku impikan, calon ibu dari anak-anakku. Cuma sayang nasibnya buruk. Ah, aku merasa gagal membahagiakannya bahkan merenggut kehidupannya." Tala tak tahan lagi, air matanya telah jatuh bercucuran.

"Dia telah banyak berkorban, dia juga dikucilkan karena lebih memilih hidup bersama saya yang orang asing dengan latar belakang udik tanpa pendidikan sama sekali. Keluarganya bilang kami tidak sebanding. Andai saja aku tidak egois mengajaknya menikah, pasti dia masih terus hidup," ujar Tala dengan suara bergetar.

Semuanya hening, Apek mengusap-usap punggung sang abang untuk membesarkan hati saudara kandungnya itu.

Aris termenung, dia dapat merasakan betapa beratnya perjuangan Tala dan perempuan bernama Raihana itu. Mungkin lebih berat dari perjuangannya saat ingin mendapatkan cinta Apek.

Aris pandangi Apek dan Tala bergantian. Jujur, Aris mengakui Tala lebih ganteng dari Apek, ada wibawa sisa-sisa calon penerus Tuk Dampo yang melekat pada Tala, meskipun saat itu Tala sedang bersedih namun kharisma jantannya tidak berkurang. Kalau dilihat-lihat wajah keduanya cukup mirip, terutama kumis mereka.

"Sudah Dang, jangan menangis lagi! Semua sudah terjadi, menangis sampai air mata kering pun percuma. Biarkan kakak ipar beristirahat dengan tenang di surga!" Hibur Apek.

Tala mengangguk dan tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
"Oh iya bagaimana dengan Apak? Amak, Runi Naras, Tuk Rakeh?"

"Semua sehat sentosa, Dang!" Kawab Apek.

Tala memperhatikan wajah sang adik dengan lekat, dia benar-benar pangling akan sosok adiknya itu. Dulu sewaktu Tala pergi Apek masih remaja baru lulus SMA, namun sekarang Apek sudah berusia hampir dua puluh lima. Tala pun tersenyum saat membayangkan masa kecil sang adik.

"Dang mentertawakan saya? Apa yang lucu?" Heran Apek.

Tala menggeleng-geleng karena terkenang masa lalu itu, "Pangling saja, Ding! Teringat saat kau kecil dulu!"

Dika yang jahil pun jadi penasaran bagaimana dengan masa kecil Apek.
"Pasti Apek nakal, iyakan?"

Apek langsung mendelik pada Dika yang sepertinya berusaha membongkar aibnya. Apek meneguk sirup jeruk untuk menyembunyikan rasa gugup karena takut ketahuan aibnya.

Tala manggut-manggut, "Wajarlah, nakalnya anak-anak. Cuma dulu itu Apek ini penakut, lho!"

Burrr! Apek menyemburkan sirup di mulutnya yang belum sempat tertelan, semburannya langsung muncrat ke wajah Dika yang memang duduk di depannya.

Ksatria Lembah Tarang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang