Bab 4 - 11 Januari

433 34 4
                                    

Aris mengolah mie instan sambil bernyanyi riang, pelan namun merdu dengan bekal suaranya yang jantan. Bau harum tumisan bawang dan rawit mulai merebak menggugah selera.

"Sebelas Januari bertemu, menjalani kisah cinta ini, naluri berkata. Engkaulah milikku
Bahagia selalu dimiliki bertahun menjalani bersamamu kunyatakan bahwa engkaulah jiwaku.

Akulah penjagamu, akulah pelindungmu, akulah pendampingmu, disetiap langkah-langkahmu"

Aris benar-benar bernyanyi sekhidmat mungkin, bahkan Aris sendiri lupa kapan terakhir kali dia bernyanyi seharmonis ini. Begitu sedap didengar. Apakah semua ini karena Apek?

Tiba-tiba terdengar satu suara tepukan tangan. Spontan nyanyian Aris terhenti, dia melirik ke belakang. Sial, Apek ternyata! Lelaki Tarang itu tegak di dekat pintu pemisah dapur dan ruangan rumah,  bertelanjang dada dan mengenakan sarung tenun khas suku Tarang. Ya Tuhan, benar-benar perfect.

"Baru kali ini mendengar nyanyian lagu pop lagi" ujar Apek sambil tersenyum.

Detak Aris semakin bergemuruh. Ada gugup dan malu. Aris merutuki habis-habisan sikap mati kutunya ini. Sejak kapan Aris yang pemberani ini bisa sekikuk sekarang?

Apek menuruni tiga anak tangga buat mencapai lantai dapur, wajahnya melongok ke dalam wajan diatas tungku. Lalu memejamkan mata sambil menghirup aroma mie instan yang telah setengah matang.

"Hemmm nyamannya"

Lagi dan lagi Aris terpukau. Oke, Aris mulai goyah. Sepertinya dia memang suka kepada lelaki ini? Tapi kenapa bisa secepat ini? Apa karena pengaruh Dika temannya yang memang seorang gay, atau justru karena Aris seorang Fudan yang suka menonton serial BL Thailand?

"Masih lama bang?"

Serrr, berdesir indah darah Aris saat dipanggil Abang oleh Apek.

"Sebentar lagi kok Pek" Jawab Aris sedikit gugup.

"Udah lama gak makan mie instan. Dulu waktu sekolah hampir setiap hari aku makan mie kayak gini"

Aris pun terheran mendengarnya.
"Apa sesulit itu mendapatkan mie instan ini di kampung Tarang?"

"Sulit dan langka! Kalau sudah kepingin sekali bisa minta sama pak komandan di pos jaga hutan. Itupun paling dapat satu dua bungkus. Kalau mau banyak harus titip ke mereka yang ke kota" jelas Apek sambil mencoba mencicipi kuah mie dengan satu sudip kayu.

"Ohh, repot juga ya. Jadi apa yang kalian makan?" Aris pun semakin penasaran, kurang sehari mereka menginjak Desa Tarang, belum banyak kehidupan sosial desa ini yang dia ketahui.

"Tentu nasi, ikan dan sayuran. Terkadang juga daging buruan. Gula dan garam sangat penting disini. Gula masih bisa diakali dengan gula merah aren. Tetapi garam kami harus membeli sebanyak mungkin di kota!" Ucap Apek.

"Membelinya? Pakai uang?"

"Barter. Bisa ditukar dengan kerbau buruan, sarung tenunan atau daging kering. Tak banyak penduduk yang punya rupiah, aku sendiri cuma menyimpan lima lembar uang seratus ribu juga beberapa uang receh dan logam" jelas Apek jujur.

"Oh begitu! Menarik ya"

"Kok menarik? Justru desa kami sangat tertinggal. Terkadang aku juga bosan" wow, ternyata Apek ini aslinya juga banyak bicara, dan entah mengapa Aris merasa asyik mengobrol dengan lelaki ini.

"Kenapa bosan? Alam kalian indah! Tradisi kalian juga agung dan luhur. Jauh dari persaingan dan keributan. Rasanya jika aku terlahir sebagai seorang anak Tarang maka aku tak akan menyesal mati di keindahan alam desa ini"

"Bang Aris terlalu puitis dan romantis" puji Apek yang berhasil membuat hati Aris berbunga-bunga.

Aris geer, sumpah! Maka biar tak kentara dia melihat wajan. Sudah matang rupanya.

Ksatria Lembah Tarang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang