Rangkaian untaian bunga telah menghiasi sepanjang koridor pada mansion mewah milik mendiang Ukai Ikkei. Dekorasi yang tampak sangat indah serta tak lupa juga dengan jamuan makanan dan minuman yang telah dipersiapkan para pelayan mansion untuk para tamu undangan.
Hari ini tibalah bagi seorang penerus perusahaan terbesar di Tokyo, Anabara Takaaki, melaksanakan proses pernikahan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Pengantin prianya telah dihias sedemikian rupa, kemeja putih dengan garis hitam dipinggirannya, dasi pita yang menggantung di lehernya, tak lupa juga rambut yang lebat itu dibelah ke samping, menambah kesan tampan dan berkelasnya sang penerus ini.
"Anakku Anabara!" seru sang ibu yang kala itu hendak memasuki kamar Anabara. Terlihat ia nampak amat bahagia, senyuman pada wajahnya yang mulai menua itu tak pernah luntur sejak lamaran hari itu.
"Sebentar lagi kau akan menikah anakku! Aku sangat senang dengan ini!" ujarnya kembali, ia meraih pundak sang putra dan menatapnya dengan lekat "berjanjilah kau akan membuat istri-istrimu bahagia, berjanjilah juga kau akan berlaku adil pada mereka, kau harus janji pada ibumu ini anakku"
Tangan yang tadi berada pada sebuah pundak yang tegak kini perlahan disingkirkan ke arah yang lain. Ibunya menatap heran "ada apa, nak?"
Anabara menatap ibunya "bagaimana aku bisa bahagia ibu? Aku saja tidak mengenal mereka sama sekali. Jangankan kenal, bertemu saja tidak pernah! Ibu, aku ingin seperti anak-anak yang lain, mereka memilih pasangan hidup mereka atas pilihan mereka sendiri. Aku tidak bisa menerima ini ibu"
"Di usiaku yang seperti ini harusnya aku pergi ke sekolah seperti anak-anak yang lain bu! Kenapa aku tidak sekolah? Kenapa selalu kakak yang mengajar ku? Apa karena aku yang selalu sakit-sakitan hingga kalian tidak mengizinkanku untuk menentukan hidupku sendiri?!" sambungnya dengan sedikit menaikkan nada bicaranya.
"Tidak! Aku tidak bermaksud merampas kebahagiaanmu nak. Tapi beginilah kondisimu, kau terlalu rapuh nak, kau tidak bisa seperti anak-anak yang lain" jawab Yasufumi "tapi kau bisa menjadi seorang penerus perusahaan terbesar di Tokyo tanpa harus sekolah seperti mereka!"
Keishin, pemuda itu menatap dari kejauhan sekaligus dapat mendengar percakapan antara ibu dan adiknya itu. Ia tersenyum, ia pun dapat merasakan apa yang adiknya itu rasakan. Rasa pilu setiap kali adiknya mengalami drop. Perasaan sedih pula terhias pada wajah cantik sang ibu membuatnya tak berdaya.
Ia menghampiri keduanya perlahan, hingga ia meraih bahu adiknya lalu memeluknya dengan erat "tanpa harus seperti mereka pun kau tetap bisa menjalani hidup adikku. Tidak perlu menjadi orang lain, jadilah dirimu sendiri sebagai jati dirimu yang sebenarnya" bisiknya, namun dapat terdengar pula oleh Yasufumi.
Dilepasnya pelukan itu dan ditatapnya sang adik "ayo, pihak mempelai wanitanya akan tiba 5 menit lagi. Kau sudah harus ada di ruang pernikahan saat mereka tiba nanti" sambungnya.
.
.
.
.
.
Sebuah mobil mewah baru saja memasuki pintu gerbang sebuah mansion yang sangat mewah dan berdiri megah di tengah padatnya kota Tokyo kala itu. Mobil yang berisikan mempelai wanita beserta keluarga itu baru saja tiba dan disambut meriah oleh para pelayan disana.
Ucapan "selamat datang" serta sikap keramahan seluruh pelayan tersebut mengantarkan mereka pada ruang tengah mansion tersebut, yang merupakan tempat yang akan diadakan proses pernikahan nanti.
"Jadi dia ya calon suami kita" bisik Mai pada Kiyoko yang ada disampingnya. Pembicaraan itu hanya terdengar oleh mereka berdua saja. Mereka menatap pada sosok Anabara yang sudah duduk menanti kedatangan calon istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐏eace 𝐒tory || Haikyuu
Ficção AdolescenteAwal kisah dari sebuah ketamakan akan kedudukan dan rasa iri hati membakar diri seorang wanita yang tak ingin menjadi nomor dua suaminya. Hingga akhirnya sang suami menceraikan istri pertamanya demi memprioritaskan istri keduanya. Putra istri pertam...