12. Malam yang Kelam

50 7 3
                                    

Usai sudah pesta pernikahan hari ini. Seluruh tamu merasa terpuaskan dan menikmati pesta yang telah digelar. Satu persatu tamu yang datang pun telah kembali dan hanya menyisakan seluruh anggota pihak keluarga.

Sembari membantu para pelayan membereskan mansion, Tooru berfikir sejenak memikirkan pernikahan yang baru saja dijalani oleh sang kakak tertua. Ia merasa pernikahan kali ini membuat kakaknya sedikit tidak terima dengan keadaan, namun pemuda ini justru tak berani walau hanya sekedar mendekatinya saja.

Lamunan itu terbuyarkan tatkala sebuah tangan berhasil meraih bahu kekar miliknya. Dihadapkan tubuhnya ke belakang, sepasang matanya dapat menangkap sosok seorang gadis muda seusianya yang sangat ia kenali.

"Kau memikirkan kakakmu, Oikawa?" tanya gadis itu.

Tooru menunduk lalu menghela napasnya "pernikahannya sangat membuatku kepikiran, Jime. Mungkin yang dikatakan nenek ada benarnya, jika bukan dengan kakak ipar Mori, lantas dengan wanita mana lagi yang akan menerimanya?"

"Aku pun turut prihatin pada tuan muda Tetsu. Tetapi setelah melihat kejadian tadi siang, kedua belah pihak setuju untuk melanjutkan pernikahan, maka tak ada bagi kita untuk bisa menghentikannya" balas Hajime.

"Iwa-chan" panggil Tooru dengan wajahnya yang serius. Sang gadis menengok menatap pemuda yang lebih tinggi darinya itu dengan alis yang tertaut.

"Ada apa, Oikawa?"

Tangan Tooru meraih jemari tangan milik sang gadis lalu ditautkan, seakan tak ingin pernah mau melepaskannya "Iwa-chan, maukah Iwa-chan menjadi pendamping hidupku?"

Terkejut, Hajime sedikit memundurkan badannya, sedikit membuat jarak ahar tak terlalu intens "p-pendamping? A-apa maksudmu, Oikawa? Aku tidak mengerti" ucapnya, namun dengan wajah yang sudah tersipu.

"Aku serius. Maukah Iwa-chan menjadi istriku?"

Lagi, ditatapnya wajah Tooru dihadapannya, mencari celah pada wajah tampannya bahwa dirinya sedang bercanda. Namun yang ia dapatkan hanyalah sebuah kejujuran dan ketulusan yang didapat melalui matanya.

"Tapi Oikawa, kau tau sendiri bukan? Kau seorang tuan muda dan aku seorang pelayan di rumah ini" jawab Hajime, ia menunduk tak kuasa menatap pemuda didepannya "tak pantas bagiku untuk menikahi seorang tuan muda tempatku bekerja"

Tautan jemari itu semakin Tooru eratkan, yang tadinya ada jarak ia mulai pertipiskan dan kemudian ia menunduk "aku juga anak dari seorang pelayan, Iwa-chan" balasnya "diberi kehidupan menjadi seorang tuan muda saja sudah sangat cukup buatku"

"Aku tak pantas mendapatkan seorang putri dari bangsawan lain, aku tak punya hak lebih untuk itu" sambungnya "kau telah menemaniku sejak kecil, bahkan aku bisa mengenal cinta melalui dirimu"

Hajime ternganga, sangat tersentuh akan kata-kata dari pemuda dihadapannya ini. Harus dibalas apa kata-kata indah itu?

"Aku sangat mencintaimu, Iwa-chan, menikahlah denganku dan hiduplah bersama denganku"

****

Dalam sebuah kamar terdapat sepasang insan yang tadi siang baru saja mengucapkan ikrar pernikahan mereka. Tak ada yang mau bicara terlebih dahulu, keadaan sangat canggung menambah kesan tak enak bagi keduanya.

"Kenapa kau memilih untuk menikahiku?" tanya Tetsu, pemuda itu duduk pada ujung kasur dan enggan menatap wanita yang saat ini statusnya telah menjadi istri sahnya.

Mori menoleh, matanya yang sembab dan tatapannya yang sendu menandakan betapa pilunya ia akan menerima pernikahan ini "aku tak ingin membuat keluargaku dan keluargamu menanggung malu yang sangat besar, tuan muda Tetsu"

"Aku sudah menerimamu sebagai suamiku saat lamaran itu tiba di kediamanku" sambungnya, dipeluknya lutut itu dan ditenggelamkan pula wajahnya pada bidang itu "jadi aku harus menerima pula takdir untuk menjadi istrimu"

Tetsu berdiri lalu menghadap istrinya dengan ekspresi marahnya "kau berbohong! Seorang pria yang sudah buta sejak lahir adalah aib bagi setiap keluarga, dan kau menikahiku hanya karena kasihan, bukan?!"

Mori ikut berdiri setelah mendengar ucapan tak benar dari suaminya "itu tidak benar, tuan muda–"

"Diamlah kau!!" tunjuknya pada Mori "pasti kau terpengaruh ucapan dari nenekku tadi pagi bukan?! Ya memang benar!! Jika tidak melakukan penipuan seperti ini, aku tidak akan mendapatkan kesempatan menikah seumur hidupku!!"

"Tidak tuanku" sela Mori "jangan katakan hal yang menyakitkan seperti itu. Tuduhanmu atas diriku sangatlah tidak benar. Aku telah menerimamu sebagai suamiku. Aku memutuskan untuk melanjutkan pernikahan ini agar mimpi bahagia diriku tidak hancur begitu saja"

"Diamlah kau Morisuke!!" teriak Tetsu, ditapakkan kaki itu menuju Mori. Tangan besar Tetsu berhasil meraih pundak Mori dan dicengkeram dengan kuat "dengar ini! Aku tidak akan pernah menerimamu sekalipun kau telah menerimaku dengan berbagai alasanmu itu!"

"Kau telah menghinaku seakan akan aku adalah orang yang patut untuk dikasihani di dunia ini! Tidak! Aku tidak selemah itu! Aku mungkin terlahir buta tapi aku sangatlah kuat, bahkan sepuluh orang pun tak akan sanggup untuk melawanku"

"Tidak tuanku, kau salah paham–"

"Salah paham apanya?! Kau telah menghinaku! Bahkan kau tak mengenakan pakaian bagus untuk bersamaku malam ini!" bentak Tetsu lagi "apa itu maksudmu cara menghormatiku?! Begitu?!"

Memanglah benar, saat ini Mori hanya memakai pakaian seadanya, tidaklah mewah dan bahkan ia tak berdandan sekalipun. Ia tak juga memakai wewangian atau berbagai perhiasan lain. Mungkin sangatlah wajar jika Tetsu akan marah padanya.

Sementara Mori, ia menangis, berusaha menahan agar suara tangisnya tak dapat terdengar oleh suaminya. Ditutuplah mulutnya dengan tangannya sendiri dengan meredam perasaan menyakitkan pada setiap perkataan dari suaminya itu.

"Aku membencimu! Aku tak akan pernah sudi menerimamu sebagai istriku!" dengan ini Tetsu meninggalkan Mori dengan suasana hati yang sangat terbakar oleh api kemarahan. Ia sangatlah marah karena dipandang lemah dan merasa sangat tidak dihormati.

Di lain sisi pula, Mori sengaja tak menggunakan seluruh aksesoris ataupun berdandan karena ia tau, suaminya tak akan dapat melihat bagaimana penampilannya. Ia sangat tak menduga bahwa suaminya akan marah besar padanya saat malam pertama.

*****

Memandang bintang yang bertaburan di langit malam sembari membayangkan wajah indah nan damai pada seseorang sungguh sangatlah memabukkan diri. Ditutupnya kelopak matanya, merasakan hembusan angin yang sengaja ia biarkan menerpa kulitnya.

Saat dibuka kembali matanya, sepasang iris itu menatap sebuah helai kelopak dari bunga sakura yang saat ini sudah memasuki musim gugur. Bunga itu gugur di tangannya dan dieluslah bunga itu sembari membayangkan seseorang dalam benaknya.

"Sugawara Koushi"

"Teman-temanku biasa memanggilku dengan nama Suga"

Senyum indah pada wajah bagai malaikat itu tak sanggup Daichi hilangkan dalam benak pikirannya. Ia selalu tak ada henti-hentinya memikirkan seorang gadis yang tadi pagi baru saja bertemu dengannya.

"Aku bahkan tak sempat menanyakan alamat rumahnya" gumamnya kembali menatap bintang "akankah kita bertemu kembali seperti bintang yang hampir setiap malam selalu datang menghiasi langit malam?"









Saya merasa bagian ini cringe sekali. Gara² mau cepetin alur malah jdi cringe. Dahlah.

Vote dan komen!

𝐏eace 𝐒tory || HaikyuuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang