"Pagiiiii para jagoan bunda," teriak Gavina dari depan kamar putranya seraya mengetok beberapa kali.
Pada ketukan pertama, Cakra sudah membuka pintu dan menunjukkan penampilannya yang sudah lengkap dengan seragam sekolah. Sedangkan Wangsa baru terbalut handuk pada rambutnya yang masih basah.
"Buruan sarapan," titah Gavina. Wanita bernama Gavina itu adalah ibu dari dua saudara kembar itu.
Dua laki-laki itu turun ke meja makan dengan bersamaan. Salah satunya masih sibuk dengan dasi yang ia ikatkan pada lehernya.
"Sini gue benerin." Cakra menarik dasi Wangsa dan menyingkirkan tangan Wangsa yang terlalu rumit.
Keduanya saling menatap, tepat di tengah-tengah anak tangga. Pemandangan yang bisa di bilang romantis tapi jiji, dibilang apa ya apa gitu.
"Wah seneng yah pah liat anak kita akur," seru Gavina tersenyum.
"Tapi sayangnya kalian ga pernah akur," celetuk Wangsa dilanjut senyuman miring dari Cakra. "Emang kalian kira kita gak tau kalo setiap malem kalian geger?" Gavina dan Rian sontak terdiam, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut sepasang suami-istri itu.
Mengoles roti dengan selai itu cukup bagi mereka, soal menyantapnya itu nanti. Cakra dan Wangsa langsung bergegas mengambil kunci kendaraan yang ada di atas meja. Keduanya pergi tanpa berpamitan dengan dua orang yang dari tadi bahagia seperti tidak terjadi apa-apa.
"Cakra hujan," ujar Wangsa. Laki-laki itu malah mengulurkan telapak tangannya pada rintikan hujan deras yang begitu dingin dengan suasana pagi.
Cakra menghela, mendongak ke atas memandangi derasnya hujan. Rasanya tidak mungkin jika ia harus menerobos, seragam rapi dan wanginya akan luntur dengan hujan itu.
"Mau bareng ga?" Tawar Wangsa. Ia lebih dulu masuk ke dalam mobil putih. Tanpa basa-basi lagi, Cakra dengan berat hati menerima tawaran dari saudara nya.
"Astagfirullah kesiangan," teriak Kinan langsung menarik handuk putih di gantungan, kali ini mandinya tidak seperti di spa yang begitu lambat. Mandi mode bebek mulai ia terapkan di saat mendesak seperti ini.
3 menit kemudian.
"Buruan buruan buruan," gumam Kinan. Dengan cepat ia berlari seraya menggunakan sepatu yang belum terikat. Begitu semangatnya sampai-sampai tidak menyadari hujan yang sedang mengguyur kota nya.
"Gue harus gimana? Kalo nerobos ga mungkin, sepeda gue masih di bengkel bang ujang." Kinan berjalan bolak-balik di depan terasnya, mencoba berfikir cerdik untuk menerobos hujan tanpa basah kuyup.
Tiinn.....
Mobil berwarna biru berhenti di depan rumah Kinan. Sosok laki-laki dengan stelan almamater tengah tersenyum padanya.
"Masuk Nan, gue anterin lo," titahnya. Kinan langsung berlari tanpa memberi aba-aba, baginya saat ini bukan waktunya untuk menolak.
"Basah ga baju lo?" Tanya laki-laki itu melihat seragam Kinan. Sempat tadi Kinan berlari menuju mobil itu tanpa menggunakan payung ataupun pelindung dari derasnya hujan.
"Lo keliatan kedinginan Nan." laki-laki itu sesekali menoleh Kinan yang sedikit menggigil. Sedikit ingin membantu,tapi mengingat suatu hal yang khawatir terjadi kesalahpahaman.
"Santai aja kali Lang, gue juga udah biasa gini." Galang, laki-laki itu namanya Galang. Putra semata wayang Rossa yang bersekolah di SMA bergengsi. Galang termasuk teman kecil Kinan, tapi semenjak dewasa, mereka sedikit canggung dan kurang akrab seperti dulu.
"Lo megang hoodie, kenapa ga lo pake." Galang diam-diam memperhatikan lengan Kinan yang tersampir hoodie hitam. Betapa anehnya gadis ini, membiarkan hoodie terlipat rapi dan rela menahan dinginnya hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAKRASA
Teen Fiction"Kita emang sedarah, tapi bukan berarti apa yang kita punya itu selalu sama!" Ucap Cakra dengan tatapan tajam. "Dan kita liat, buat kali ini siapa yang bakal nempatin posisi itu," balas Wangsa. Cakrawala dan Cakrawangsa Adinata Pramana. Laki-laki...