"Cakra, aku salah apa sih sama kamu sampai-sampai kamu diemin aku gini."
Zahwa terbangun dan mendapati Kinan mengingau di sebelahnya, Kinan membelakangi Zahwa. Membuatnya semakin tidak peduli dan kembali melanjutkan mimpi indahnya. Zahwa pikir itu hal biasa dan ia tak perlu repot untuk melihat Kinan saat ini. Selagi Kinan tidak berteriak histeris seperti di film-film, berarti aman.
Semakin lama dan mentari mulai menyambut, Bunda tiba-tiba berada di kamar Zahwa, memegang dahi Kinan yang hangat dan wajahnya yang pucat. Bibirnya putih dan badannya menggigil kedinginan. Melihat Zahwa yang masih nyenyak dengan tidurnya, Bunda menyiapkan air hangat dan handuk kecil untuk Kinan, ia memeras handuk di wadah air hangat dan membalutnya di dahi Kinan.
"Mah? Ngapain di sini?" Kejut Zahwa melihat sosok bundanya di sebelah Kinan.
"Temen kamu," ucapnya, bunda berdiri membawa wadahnya. "Mamah buat bubur dulu, kayaknya dia kecapean."
Zahwa mengerutkan dahinya, ia langsung menarik tubuh Kinan, mendapati gadis itu demam tinggi seraya merintih kedinginan. Zahwa mengerutkan dahinya usai melihat Kinan seperti mayat hidup saat ini.
"Dingin banget."
Zahwa mengambil selimut di kamar tengah dan membalutkan di tubuh Kinan agar ia mendapatkan kehangatan. Zahwa benar-benar panik saat ini, ia tidak tahu harus berbuat apa, sejauh ini ia hanya melakukan hal sederhana, memberi Kinan selimut yang banyak dan mematikan AC kamar.
"Mah gimana terus?" Tanya Zahwa menghampiri Bunda nya di dapur. "Password hp nya Zahwa gak tau, mau ngehubungin siapa coba Zahwa?"
"Dia kerja ya? Kamu bisa ga datang ke tempatnya, terus cerita soal kondisi Kinan saat ini? Kasian nak," ujar Bunda lembut. "Khawatir kalo Kinan gak ada kabar nanti malah dikira Kinan gak patuh sama peraturannya, kamu izinin ya, atau kalo kamu punya nomor temennya kamu hubungin tuh," tutur bunda yang jelas berpikir panjang hingga teliti sampai resiko di tempat kerja.
Zahwa mengangguk pelan, ia mulai membuka ponsel dan mengabari Cakra ataupun wangsa.
"Papah udah bilang berkali-kali sama kamu buat ga lanjutin hubungan itu!" Seru Adi menggelegar.
Ddrrttttt...
Cakra tersentak kaget usai Adi menyahut ponselnya yang saat ini bergetar karena adanya panggilan. Ia melihat nama Zahwa tanpa akhiran khusus di belakangnya.
"Bukan cuma sama dia, tapi sama semua perempuan! Papah gak mau liat kamu pacaran-pacaran lagi!" Adi mereject panggilannya, memberikan ponselnya pada Tarina.
Cakra langsung menoleh pada Tarina seolah meminta Tarina untuk mengembalikannya padanya. Siapa dia sampai-sampai berani mengontrol ponselnya saat ini.
"Maaf Mas, saya cuma kerja," ucapnya gemetar.
Adi keluar meninggalkan Cakra yang masih diam membeku dengan Tarina, gadis itu saat ini hanya menatap Cakra dengan rasa bersalah. Ia berbalik mengikuti perginya Adi dari sana.
Lagi-lagi Cakra tak berdaya di hadapan Adi, ia hanya bisa diam tanpa melawan. Menuruti permintaan Adi sepertinya lebih baik dibanding ia harus menerima bentakan ini tiap hari. Begitu kata Wangsa padanya. Ditambah lagi ia harus bersyukur, lebih baik menurut daripada harus menjadi gelandangan.
"Anjayyy dibentak lagi," seru Wangsa seraya bertepuk tangan di lantai atas. "Apakah anda tidak bosan wahai mas Cakra?"
Cakra langsung tertawa, menggeleng tak habis pikir dengan asupan yang terlalu sering ini. Membuat suasana berbeda saat ini, Wangsa hanya bisa tertawa dan mencoba membuat suasana kembali santai.
Kejadian seperti ini rasanya terlalu sering bagi mereka sampai mereka sendiri pun sudah hafal dengan nada, ucapan atau bahkan ekspresi Adi saat marah. Daripada dijadikan renungan terus menerus, mereka memilih mentertawakan hal ini saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAKRASA
Teen Fiction"Kita emang sedarah, tapi bukan berarti apa yang kita punya itu selalu sama!" Ucap Cakra dengan tatapan tajam. "Dan kita liat, buat kali ini siapa yang bakal nempatin posisi itu," balas Wangsa. Cakrawala dan Cakrawangsa Adinata Pramana. Laki-laki...