Gelap, sepi, dan hanya suara jangkrik yang mengisi kekosongan malam ini. Rumah di ujung jalan yang tak tampak seperti tempat tinggal, malah rasanya justru seperti rumah terbengkalai.
"Itu rumahnya? Serius kah, soalnya gelap banget loh itu," ucap Cakra mulai mendekat. "Mana serem banget kayaknya."
Cakra melihat-lihat suasana rumah yang gelap seperti rumah hantu itu, heran sekali dengan tingkah Kinan yang sama sekali tak teliti soal hal ini.
Kinan meringis. "Aku lupa nyalain lampu soalnya Kak, jadi ya gelap deh, ayo turun Kak," ajak Kinan. Ia langsung berjalan membuka pagar.
Laki-laki elit seperti Cakra mana pernah menginjakkan kakinya di atas rumput basah dan tanah lembab. Wajahnya saat ini terlihat tak nyaman, di tambah lagi dengan nyamuk yang mulai menyerang wajahnya.
"Ayo masuk." Kinan meminta Cakra duduk di kursi kayu tua. "Maaf ya kak, rumah nya kecil."
Cakra melihat seluruh ruangan, dinding kumal yang berisi coretan warna, lampu putih yang tak secerah lampu kamar di rumahnya.
"Orang tua?" Tanyanya pada Kinan yang saat ini membawa secangkir teh. "Sepi banget."
"Ni rumah ukurannya ga jauh beda sama kamar gue," batinnya.
"Aku tinggal sendiri, ayah meninggal waktu aku SD dan ibu meninggal waktu melahirkan."
"Lo punya adik?" Potong Cakra.
Kinan tersenyum, "punya, cuma dia udah meninggal waktu dilahirkan, mama juga ikut pergi sama dia, jadi gue sendiri deh sampai sekarang."
"Ohh jadi gini hidupnya," banting Cakra sekali lagi.
Pukul sepuluh malam, derasnya hujan kembali membasahi kota dan halaman. Membuat Kinan seketika panik mencari ember dan wadah untuk ia letakkan di setiap sisi rumah.
"Maaf ya," ujar Kinan usia meletakkan ember di depan Cakra. "Ya gini kalo hujan, aku harus jaga-jaga biar ga banjir juga."
Yang saat ini Cakra lihat hanyalah suasana rumah yang sepi dan jajaran ember disetiap sisinya. Rumahnya memang tenang dan indah, hanya saja Cakra merasa ada yang kurang di sini.
Cukup sibuk Kinan dengan hujan hingga membuat laki-laki di kursi itu tertidur dengan boneka bantal yang ia peluk. Sesekali tangannya menampar wajahnya sendiri, menghindari nyamuk yang terus hinggap.
"Kalo tidur gini serasa bisa digapai, apalagi kalo nangis, ternyata bisa ya cowok kaku kayak kamu bisa nangis," gumam Kinan seraya menutup tubuh Cakra dengan selimut.
Ddrrttt....
Wakil. Ella
Cakra, are you okey?
Gimana tadi?
Kinan kembali meletakkan ponsel Cakra di meja, mendengus kesal saat melihat nama itu terus saja memenuhi layar notifikasi ponselnya.
"Gini ya deket sama cowo orang, gak pernah tenang."
Kinan membawa lipatan selimut dan bantal kecil, mengambil payung sekaligus kunci mobil Cakra. Bukan mau pergi ataupun bagaimana, gadis itu saat ini hanya ingin pindah tidur, tidak ingin satu rumah dengan sosok laki-laki asing.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAKRASA
Ficção Adolescente"Kita emang sedarah, tapi bukan berarti apa yang kita punya itu selalu sama!" Ucap Cakra dengan tatapan tajam. "Dan kita liat, buat kali ini siapa yang bakal nempatin posisi itu," balas Wangsa. Cakrawala dan Cakrawangsa Adinata Pramana. Laki-laki...