Malam yang sunyi, suasana yang dingin dan derasnya hujan membuat saudara kembar itu semakin nyenyak dalam tidurnya. Keduanya tidur bersama di kamar Wangsa usai lelah tertawa bersama sore tadi.
"Gimana pun juga kita memang udah ga cocok Mah, aku mau kita pisah!" Seru Ayah di ruang tamu. "Kamu punya pacar kamu itu dan aku punya banyak wanita buat nyenengin aku, impas kan?"
"Aku tahu, tapi anak-anak Mas, walaupun kita gak seharmonis itu, setidaknya kita bisa baik di depan mereka."
"Engga Mah! Aku udah muak sama kamu, lagian kamu juga gak ada untungnya buat aku, makin tua juga, ga cantik!"
Bugh...
Mamah memukul ayah dengan vas bunga di meja. Keduanya semakin memanas, mulai bermain tangan dan saling menampar.
"Wanita bajingan!!" Teriak ayah langsung melontarkan tamparan itu. "Pikirannya cuma uang! Ga bermanfaat!" Berkali-kali ia menendang mamah.
Wanita itu tak tinggal diam, justru ia terus melawan dan tak menangis sedikitpun. Keduanya saling bertikai, melempar dan menampar. Teriakannya terdengar hingga membuat dua laki-laki di kamar itu terbangun.
"Sa Sa, mamah sama papah Sa, buruan!" Seru Cakra langsung berlari ke bawah. Ia melihat dari lantai atas. "Pah, Mah! Berhenti gak!!" Teriak Cakra menggelegar.
"Anjing," ucap Wangsa seraya memegang kepalanya. "Bisa begini anjing." Ia berlari, mengambil benda-benda tajam yang ada di tangan kedua orang tuanya.
Cakra sama sekali tak turun, ia tetap berdiri di atas sana sambil melipat tangannya. "Hebat, makin ke sini makin gila, bisa gak gausah berantem, malu! Anak kalian udah pada gede!"
"Justru itu, karena kalian udah besar, kalian bisa hidup tanpa papah mamah," ujar Ayah seraya mengangkat ibu jarinya pada Cakra. "Kalian gak perlu peran kedua orang tua kayak anak kecil kan? Dari dulu juga kita kayak gini, cuma disensor aja."
"Oh gitu? Yaudah pisah aja, kalian bisa kok atur hidup kalian masing-masing, kita emang udah ga perlu itu lagi kayaknya. Malah justru kalian yang perlu! Sifat kalian perlu di atur!" Jelas Cakra menekan kata terakhir.
"JAGA OMONGAN KAMU!"
"Nyatanya gitu, kalian seharian gak di rumah juga kita berdua ga mati kok, yaudah pergi aja, jujur ya, males liat kalian kayak gini." Cakra mengusap air yang mengalir di pipinya. "Kalo ini waktunya kalian buat pisah, gapapa pisah aja, ga ada yang larang."
"Tanpa kamu suruh juga Papah emang mau pergi."
"Cakra!" Teriak Wangsa mencegah keduanya. "Mah, Pah, kita bisa bicarain ini, please jangan pergi dulu please."
"Pah, jangan lupa ya TF nya tetap berjalan loh," ucap Cakra santai.
"Tanpa kamu minta juga Papah udah siapin," jawabnya. "Gini kan enak, ga perlu bonyok gara-gara cewek ga jelas ini, kamu tiru kakak kamu, ga drama, realita aja Wangsa." Ayah melambai dan menepuk bahu Wangsa yang masih menangis memohon pada Ibunya.
Sudah jelas kan, sifat Cakra yang cuek dan tidak ingin rumit menurun dari ayahnya, apa adanya tanpa harus drama. Sedangkan sifat Wangsa didominasik oleh Ibunya, berhati lembut dan merasakan apa yang memang harus dirasakan.
"Mah..." Lirih Wangsa, ia meletakkan kepalanya dipangkuan Ibunya. "Kok gini? Cakra juga ga peduli, dia tau ya?"
"Kamu harus belajar nerima ya, Mamah juga punya kehidupan baru nak, Mamah bakal terus jenguk kalian berdua kok. Semua yang kalian butuhkan pasti ada, dan pembantu di rumah ini juga tetap ada, soal uang itu urusan Mamah sama Papah ya," jelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAKRASA
Teen Fiction"Kita emang sedarah, tapi bukan berarti apa yang kita punya itu selalu sama!" Ucap Cakra dengan tatapan tajam. "Dan kita liat, buat kali ini siapa yang bakal nempatin posisi itu," balas Wangsa. Cakrawala dan Cakrawangsa Adinata Pramana. Laki-laki...