CKRS|10

34 28 17
                                    

"Pulang lo sendiri, ngapain sih nebeng di mobil orang. Lo kan punya motor," oceh seorang anak remaja ulung yang begitu kesal dengan sosok yang terus mengikutinya.

"Sa, lo benci sama gue cuma gara - gara gantungan sapi doang? Plis lah kejadian ini udah lewat lama, dan lo masih aja ngungkit hal ini?" Bela Cakra, ia bersikeras masuk ke mobil.

"Gak ada, gitu - gitu juga lo udah ngerendahin Kinan di depan banyak orang."

Melihat bibir Wangsa yang terus mengoceh tanpa menerima kedamaian itu, Cakra sontak menutup pintu mobil dengan gertakan yang cukup kasar. Ia mulai mengikis jarak antara adiknya itu.

"Mana sopan santun lo?" Cakra mendorong Wangsa dengan jari telunjuknya. "Denger ya, sampai kapanpun, kalo lo butuh ke gue. Gue gak akan bantu lo, sedikitpun." Cakra melontarkan tatapan tajamnya.

Ditengah gemuruh kilat yang saling bersahutan, keduanya berpisah di mana posisi mobil Wangsa terparkir. Wangsa menatap perginya sosok punggung Cakra yang mulai lenyap dengan kepergiannya. Rasanya ia begitu puas saat melihat Cakra mengaku kalah darinya.

"Gue gak akan biarin lo cari muka lagi ke Kinan, gue tau kalo lo emang suka sama Kinan, ck."

Saat ini Cakra berdiam diri di halte sekolah menunggu taksi atau ojek online yang ia pesan.

Tiinnn...

Wangsa melaju dengan kecepatan maksimal tepat dihadapan Cakra berdiri. Bahkan ia sempat terpenjat kaget saat mendengar klakson itu berbunyi lama di sekitarnya.

"Bangsat, gue tandain lo," decak Cakra. "Ni ojol pada butuh duit gak si, dari tadi gue pesen dicancel mulu."

Keadaan semakin gelap, kali ini pribahasa mendung tak berarti hujan sudah tidak berlaku. Keadaan benar-benar gelap, jadi mustahil jika tidak hujan.

Kurang lebih dua langkah Cakra berjalan, sontak hujan turun dengan derasnya membuat ia kembali berlari berteduh di halte bus.

"Sial." Cakra mengibaskan tangannya pada jas almamater nya yang terkena cipratan air.

"Kak."

"Abhhgsyjwk anjir." Cakra terpenjat kaget melihat sosok Kinan dengan rambut menutupi wajahnya dan lengkap dengan payung merah.

"Astaga." Cakra mengelus dadanya. "Hih, gue kira si Ancol. Jangan suka ngagetin, ga asik kamu tuh," ketus Cakra gajelas.

Kinan mengumpul bibir, "b-belum pulang kak?" Cakra sama sekali tak menjawab. "Oh belum ya, buktinya masih di sini."

"Kenapa bisa belum pulang kak? Wangsa nya kemana? Gak dijemput?" Tanya Kinan tanpa henti.

Aselii, kayaknya Kinan mau kena semprot. Ia terus bertanya-tanya, padahal wajah Cakra kusut saat mendengar ocehan kecilnya itu.

"Kak..."

"Lo bisa diem ga sih!" Bentak Cakra, sontak saja ini membuat mulut Kinan terbungkam rapat. Almamater nya terlempar jauh dengan tatapan matanya yang menyorot tajam ke arah Kinan.

"Seharusnya kalo lo udah tau keadaan gue, gak usah banyak nanya," ucap Cakra pelan.

Ia memungut jas itu tanpa menggunakan sesuatu untuk menutupi kepalanya. Bahkan saat ia merasa tubuhnya mulai basah, Cakra memilih pulang menerobos derasnya hujan dengan beberapa sambaran kilat.

Kinan menunduk gemetar di bawah payung merahnya, ia bahkan tak berani untuk menaikkan pandangannya menatap pemilik mata tajam itu.

"M-maafin Kinan kak, Kinan cuma basa - basi aja," rintihnya yang perlahan mulai berani menaikkan pandangannya.

CAKRASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang