Derasnya hujan di malam hari memang rasanya begitu nyaman, mencari kehangatan di balik selimut dengan layar film atau menikmati teh panas dengan buku bacaan. Seperti Wangsa yang sibuk bermain game dan Cakra yang tengah membaca buku di ruang tamu dengan cokelat hangat.
"Mas, di depan pagar kayak ada yang berdiri cewek Mas, boleh di cek gak ya? Saya takut," ujar bibi merinding memegang lehernya.
"Orang teduh kali Bi."
"Engga mas, serius deh, dia ngeliat ke arah jendela tuh, ayo Mas, merinding saya," pinta Bibi menariknya ke jendela depan.
Jujur saja Cakra sebenarnya juga sedikit takut kalau soal mistis, ia memberanikan diri membuka tirai panjang itu sedikit.
"Astagfirullah."
"Takut ya Mas?" Ejek Bibi. "Masa badan segede gini takut sama gituan."
"Apa Sih, engga." Cakra menaikkan dagunya sombong, mengambil payung di pojok belakang pintu. "Pintu nya jangan ditutup, Bibi di sini aja liatin saya ya." Bibi mengangguk mengiyakan perintah Cakra. "Oh iya kalo ada apa-apa sama saya, panggil Wangsa."
Cakra mulai berjalan ke arah gerbang besar itu, mendapati sosok sepeda pink yang tak asing baginya. Ia semakin yakin bahwa itu bukanlah sosok mistis.
"Kinan?" Cakra langsung membuka kunci gerbangnya. "Heii ngapain lo di sini, baju lo basah banget."
Kinan sontak mendorong Cakra jauh darinya. "Gue tau niat lo baik, tapi bukan berarti lo ubah semua yang ada di rumah gue!" Cakra sontak menoleh ke Bibi, memintanya Masu dan tak ikut campur dalam hal ini.
"Rumah yang Lo renovasi tadi pagi, hasilnya bagus, bahkan rumah gue yang dulu aja ga ada apa-apanya dibanding yang sekarang, gue makasih banget." Kinan menyatukan telapaknya. "Tapi Lo mikir ga sebelum cat seluruh dinding rumah gue? Lo mikir ga gambaran yang ada di setiap sudutnya? Lo ga mikir itu Ra?!!!"
"Apa salah nya sih? Coretan dinding yang ga jelas itu? Kotor tau."
"Lo gak tau kenangan apa yang ada di gambar itu Ra! Itu gambaran gue sama bokap gue waktu kecil," lirihnya, bibirnya gemetar kedinginan. "Gue sengaja biarin semua itu buat kenangan mereka Ra."
"S-sorry Nan, gue ga bermak-"
Kinan mengarahkan ibu jarinya pada Cakra. "Lo cuma anak manja yang bisanya hamburin uang, ga ngerti apa makna kenangan sederhana yang gue punya."
"Gausah bawa-bawa keluarga gue," potong Cakra sinis. "Masalah lo sama gue, bukan sama keluarga gue."
"Lo kira dengan uang lo itu lo bisa bikin orang bahagia? Ga semua Ra, pantesan aja keluarga lo ga harmonis, ternyata kelakuan anaknya gini." Cakra hanya terdiam mendengar ucapan Kinan. "Hal sederhana aja di remehin, apalagi yang mewah, orang tua lo males kali sama lo."
"KINAN!"
"APA?! Mau marah lo sama gue?! Sekarang gue balik, apa yang bisa lo lakuin sama perbuatan lo sendiri? Rumah gue! Mikir gak lo?! Gue lebih baik tinggal di rumah yang bocor, kumuh, kucel atau apalah bahasa lo itu. Dari pada tinggal di rumah yang lo renovasi dan akhirnya kayak asing bagi gue."
"Setidaknya lo bersyukur!" Bentak Cakra.
"Bersyukur gue hidup apa adanya, seharusnya lo tanya mana yang perlu diperbaiki dan mana yang engga, gak semua dunia ini dalam kendali lo Ra," nada Kinan semakin melemah, wajahnya benar-benar pucat saat ini.
Tak lama tubuh gadis itu terjatuh di paving halaman rumah, membuat Cakra sempat terdiam panik seraya membangunkan gadis itu.
"Pak, angkat ke dalam," titah Cakra. "Bi urus cewe ini, taro di kamar tamu sekarang juga, oh iya jangan lupa ganti pakaian nya juga."

KAMU SEDANG MEMBACA
CAKRASA
Fiksi Remaja"Kita emang sedarah, tapi bukan berarti apa yang kita punya itu selalu sama!" Ucap Cakra dengan tatapan tajam. "Dan kita liat, buat kali ini siapa yang bakal nempatin posisi itu," balas Wangsa. Cakrawala dan Cakrawangsa Adinata Pramana. Laki-laki...